Kamis, 07 Februari 2013

Touching!



“Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu… jangan menempel. Biarkan… Dia… Menggantung… Mengambang… 5 centimeter… di depan kening kamu… Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu.”

                Bukan… Bukan aku yang ngarang itu semua. Tapi, mas Donny Dhirgantoro dalam novel 5cm-nya. Nggak tahu kenapa kutipan ini bener-bener inspiring banget!! Hari ini nggak bakal banyak ngebacot dulu. Cuma pengen share aja kalau kutipan buku ini bener-bener touching banget!! Semoga bisa semakin memotivasi kita semua! :D Amiin :)

Selasa, 01 Januari 2013

The New Me


            Sepi. Aku sendiri. Rumahku sepi di senja ini, bahkan tak ada masku yang biasanya menjadi penunggu lantai dua. Kebetulan tak ada hujan yang turun membasahi pertiwi. Seperti biasa aku bergegas berlari ke lantai dua, melompati balkon sedikit dan sampailah aku di tempat favoritku tanpa ada yang mengganggu yaitu atap rumah. Aku merenungi lazuardi yang semakin jingga. Sayup terdengar, layung layung jo belek-belek aku belek o jothakanku. Ah, tidak ini hanya bayanganku saja, hanya teringat ucapan singkat pakdheku saat hamparan langit ini menghadirkan senja yang benar-benar jingga. Lagi, aku merenungi diriku. Aku berubah…
                Bukan. Bukan berubah menjadi power ranger pink seperti yang kuharapkan. Aku tak bisa mengeluarkan jurus kameha meha atau tapak budha yang kuinginkan. Aku hanya sadar bahwa aku berubah. Itu saja. Perjalanan waktu mengubahku. Aku mem-flashback kehidupanku selama setahun ini, mumpung sekarang adalah akhir dari 2012 dan aku semakin sadar aku banyak berubah.
                Awal tahun, Januari, Februari, Maret, April. Aku ababil, banget. Aku kayak kimcil. Kayak anak remaja jaman sekarang. Kemana-mana sama pacar, makan di kantin sekolah sama pacar, bangga banget sama pacar, pokoknya apa-apa pacar. Pulang dianter pacar, beberapa kali berangkat dijemput pacar, mau pergi-pergi minta dianter pacar. Ponsel tak berada disampingku? Sama dengan mampus. Tak ada getaran ponsel yang berisi sms dari si dia? Bingungnya sampai setengah gila. Alay ya?
                Sampai pada akhirnya tak ada lagi kata ‘pacar’ dalam hidupku di bulan-bulan selanjutnya. Dekat jauh dekat lagi jauh lagi. Tarik ulur tarik lagi ulur lagi. Dan itu semua terjadi sama ‘mantan’ kata ganti untuk ‘pacar’ yang sudah basi. Aku… Jadi… Semakin… Ababil. Sekian. Banyak yang mendukung, tapi jauh lebih banyak lagi yang tidak menyetujuiku untuk bersamanya lagi. Puncak tarik-ulur-dekat-jauh itu adalah bulan November yang agaknya harus kutahbiskan sebagai bulan kebangkitan, bulan perubahan.
                Aku memutuskan untuk jauh, dan tak dekat-dekat lagi. Tahu kenapa? Lelah. Hanya satu kata ‘lelah’ cukup menjawab segalanya. Aku lelah dengan sikapnya yang selalu tarik-ulur. Aku lelah dengan banyaknya jumlah homo sapiens di sekitarku yang menasehatiku untuk tidak dengannya lagi. Aku lelah dengan segala ketidakpastian, meskipun di dunia ini segalanya memang serba tidak pasti, bahkan dalam pelajaran Kimia pun ada sebuah asas ketidakpastian dari Heisenberg.  Aku lelah.
                Sekarang, akhirnya… Setelah menyandang predikat sebagai ‘gagal move on tahun 2012’ aku hanya tersenyum puas. Tahun 2013 aku pasti berhasil kok! Because, this is the new me. Aku yang baru. Aku yang sudah berhasil mengenyahkan perasaan ini jauh-jauh. Aku yang berhasil melihat dari segi untung-rugi. Aku yang berhasil bangun dari mimpi dan menjalani kehidupan dalam realita. Aku yang sudah jarang main HP, yang jika ponselku tak berada di sampingku aku sudah biasa saja. Aku yang mulai lebih memahami sekitar, yang tak hanya bisa tidur-tiduran sembari smsan. Dan semoga, menjadi aku yang lebih dewasa menyikapi hidup.
                Aku menarik nafas, kuhirup sedalam-dalamnya, dan kuhembuskan perlahan. Inilah aku, aku yang baru. Aku yang berjuta kali lebih baik dari aku yang dulu. Ini aku, dunia. Ini aku! Aku yang semoga semakin dewasa, dan menjadi lebih mapan pemikirannya 6 bulan lagi, saat usiaku 17. Renungan senja yang indah ini pun harus berakhir. Seiring dengan menggelincirnya sang surya, menggelapnya lazuardi, dan deru kendaraan yang datang. Aku melangkah pergi, sembari berteriak dalam hati…  This is the new me, hey twilight!!

Menari dan Menulis Itu…


                Layaknya tiap orang, aku juga memiliki sesuatu hal yang menentramkan jiwaku. Mungkin banyak orang memilih kegiatan ini dan itu, mungkin ada yang suka bersepeda, mendengarkan lagu, menggambar, menyepi di suatu tempat, dan sejuta aktifitas lainnya. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang lain, aku memilih menari dan menulis. Ke-na-pa?
                Sepanjang catatan sejarah kehidupanku, aku mengenal tarian, aku belajar menari, semua sejak usiaku lebih kurang 5 tahun. Ibuku yang dulunya adalah penari ‘memaksaku’ belajar menari. Sejujurnya, dulu ketika masa putih-merah, aku tidak suka menari. Ibuku yang terus memaksaku dengan berbagai ultimatum. Pernah suatu ketika aku malas, dan Ibuku langsung mengancam “Kalau sekarang kamu nggak berangkat nari, kamu nggak boleh nari seumur hidup.” Nyaliku langsung ciut, dan aku langsung keluar rumah untuk latihan. Ya, aku berlatih di rumahku sendiri, karena di rumahku didirikan sebuah sanggar tari.
                Lambat laun aku mulai mencintainya. Aku menjadikan ability menariku ini sebagai suatu ciri khas di diriku, suatu kebanggaan bagi diriku. Sebuah ciri khas yang membuatku berbeda dari anak-anak lainnya. Itu adalah anggapanku ketika awal aku memasuki masa putih-biru. Aku masih rutin latihan menari di sanggarku, Sanggar Tari Wiraga Apuletan. Aku menempa diriku lebih jauh lagi, meski aku masih belum berhasil meraih juara tari selama itu. Aku terus menekuninya, kadang sedikit berjumawa karena jarang anak seusiaku yang bisa menari. Bangga rasanya mendengar temanku berkata, “Wita kamu penari ya? Wah, hebat banget… Jarang lho ada anak muda sekarang yang bisa nari Jawa gitu.”
                Kini, di masa putih-abu, aku menyadari satu hal yang jauh lebih dalam daripada sekedar itu. Menari adalah jiwaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa dengan menari itu semua akan meluruhkan ketidaknyamanan di hatiku. Aku belajar menari memang tidak untuk sebagai profesi, namun ini semua murni demi kenyamanan batin. Ketika menari, aku harus bisa menyatukan rasaku. Ketika aku menarikan tarian yang bernuansa senang, meskipun hatiku sedang terluka, aku jadi bisa tersenyum manis karena aku harus menjiwai tarian tersebut.
                Biasanya, senyum itu akan terbawa dalam kehidupan sehari-hariku. Dan kelihaian menutupi perasaan juga ikut terbawa dalam kehidupanku. Ketika aku menari, sisi lainku akan keluar. Sisi feminimku yang sehari-hari sering tertutupi tingkahku yang sedikit tomboy. Dengan menari, aku berhasil memusatkan segala konsentrasi dalam satu hal. Aku tak heran mendengar celoteh temanku yang bicara begini, “Aneh ya Wit kamu… Kalau di kehidupan biasa kayaknya orangnya cuek, tomboy, ya cowok banget. Tapi, begitu menari, kamu kelihatan anggun banget, cewek banget lah intinya!”
                Semua gerakan yang dibentuk oleh anggota tubuhku rasanya memberikan suatu kelegaan tersendiri. Bahkan kini , ketika mendengar musik hip hop pun aku bisa bergerak sesuai apa yang ada di pikiranku, tak peduli jelek atau bagus. Yang penting aku bergerak, aku menari. Titik. Menari tradisional dan modern, sama-sama membahagiakan. Hanya saja, ketika aku ingin merasakan kebebasan, aku akan memilih memutar lagu hip hop dan dance. Namun, ketika aku ingin merasakan keanggunan, ketika aku ingin merasakan bagaimana pesona dan kewibawaan seorang ‘putri’ aku akan lebih memilih memutar gending-gending Jawa.
                Menulis. Satu kata sederhana ini juga memberikan kelegaan yang sama maksimalnya dengan menari. Aku mulai suka menulis sejak aku duduk di bangku putih-merah. Aku masih ingat puisi pertamaku yang berhasil dimuat di sebuah surat kabar harian Kompas, puisi tentang jasa guru. Ketika sekarang ini aku membaca ulang, jujur aku ingin tertawa. Betapa ‘hancur’ hasil karyaku itu. Namun, itu lah tonggak kepercayadirianku untuk menulis.
                Setelah itu aku terus menulis dan menulis. Masa SMP mungkin adalah masa yang lumayan gelap bagi karir kepenulisanku di bidang sastra. Belum pernah satu puisi atau cerpenku dimuat di media massa. Namun, aku berhasil mendapat juara 3 dalam lomba menulis esai berbahasa Jawa. Dan prestasi itu yang menyumbangkan nilai 0,5 dalam NEM-ku.
                Mungkin masa putih-abu adalah masa paling ‘menyala’ dalam hal tulis menulis. Aku mengikuti jurnalistik, sebuah dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku mulai menulis sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan fiksi atau khayalanku semata. Aku juga mulai mengenal apa itu web log, atau blog. Disana aku membiarkan tulisanku berkejaran, berlarian, dan liar. Aku menulis apa saja yang aku mau. Mulai dari berbagi pengalaman, pengetahuan, sampai ehm curhat. Beberapa karya seperti puisi dan cerpen pun ku posting di blog. Sejujurnya aku ingin mendapatkan penilaian orang lain terhadap hasil karyaku.
                Akhir tahun 2012 ini, aku berkesempatan menjadi seorang reporter yang mengisi kolom remaja, Kaca di surat kabar harian lokal terbesar, Kedaulatan Rakyat. Disini aku belajar bagaimana menulis, bagaimana menjadi tepat waktu, dan sejuta pengalaman berharga lainnya. Aku benar-benar menyalurkan kegiatan menulisku sebagai hal yang positif. Sehingga, aku mulai menghargai waktu, dan tak terlalu banyak ber-galau-ria lagi sebagaimana remaja masa kini yang mengikuti arus ‘galau’.
                Menulis benar-benar memberikan kelegaan yang indah, kelegaan yang serupa tapi tak sama dengan menari. Dalam menari, semua lukaku terobati. Namun, dengan menulis, semua pesanku tersampaikan. Seperti saat ini. Ketika hatiku penuh sesak dengan sejuta alasan kenapa aku cinta menari dan menulis, lagi-lagi menulis datang sebagai ‘superman’ yang bersedia kujadikan alat untuk mengurangi kesesakan di hatiku.
                Jadi, ini adalah dua hal yang membahagiakanku, menenangkan hatiku, membuatku nyaman. Aku belajar menari untuk mencari kesenangan, aku menulis untuk mencari kelegaan. So, tolong, siapapun kamu… Jangan halangi aku, jangan mengacaukan suasana hatiku dengan mengacaukan image menari dan menulis yang sudah terpatri di hatiku. Aku hanya tetap ingin menari dengan bebas, latihan dengan nyaman, tanpa perlu mendengar suara sok mengatur. Aku tetap ingin menulis dengan bebas, tanpa ada orang yang merasa tersindir, dan balas menyindirku dengan tulisan.
Kalau aku ingin melakukan ini dan itu… Ya… Suka-suka aku kan? Ibuku aja nggak ngelarang :)

#ditulis ketika penulis sedang sedikit mangkel dengan seseorang, dan butuh teman curhat seperti halnya ‘tulisan’, agar penulis lega dan untuk memperingatkan siapa saja yang berusaha menghalangi niat suci penulis dalam menari dan menulis #tsaah #sokbanget *end* 

Senin, 26 November 2012

Ikhlas dan Pasrah yang Bukan Menyerah!


            Malam ini, aku terbaring sendiri di tengah cahya temaram di kamarku. Rahangku mengatup keras, berupaya menahan butiran halus yang sudah menggantung dan membuat mataku panas. Aku lelah. Kedua tanganku—lengan atasku lebih tepatnya—terasa amat sakit. Nyeri, pegal, entahlah! Namun, yang benar – benar menusuk adalah nyeri di dadaku yang kian membuatku sesak.
            Aku lelah. Lelah berpikir tentangmu. Lelah mengharap balasan pesan darimu. Lelah berpikir macam – macam jikalau sikapmu sedikit berubah padaku. Aku benar – benar lelah. Aku tak pernah mengerti tentang kau dan jalan pikiranmu yang begitu berliku. Aku lelah menyusuri jejak langkah lebarmu yang terasa kian menjauh tanpa aku tahu sebabnya. Aku mencapai titik pasrah. Ini… Terasa… Semakin… Berat…
            Namun, entah aku ini bodoh, bebal, keras kepala atau apa. Aku terus berjalan, bahkan setengah berlari. Berupaya mensejajari langkah lebarmu.. Meski aku harus terseok, terjatuh, terluka, apa pun itu! Aku menyakiti diriku sendiri. Bodoh kah aku? Salah kah aku? Namun, jika aku sadar bahwa ini perilaku bodoh, mengapa aku masih melakukannya? Ada kah instingku berkata bahwa ini jalan terbaik? Ada kah menyakiti diriku itu jalan terbaik?
            Aku kalah. Rahangku mengendur, bersamaan dengan buliran itu terjatuh perlahan menuruni pipi dan membasahi bantalku. Aku baru menyadari betapa kuatnya air mata yang sering dikata orang sebagai pertanda ‘kelemahan’. Air mata bahkan mampu menembus pertahanan bajaku! Aku masih memegang erat ponselku, harap – harap cemas. Aku berharap ponselku setidaknya bergetar lagi, meski interval waktunya paling cepat 7-10 menit. Ah, semudah itu kah Tuhan menghapuskan perhatianmu dulu? Menghapuskan getaran ponselku dengan interval waktu 3-5 menitku?
            Aku tersenyum miris mengingat nasibku sendiri. Aku selalu begitu. Kalah dan ‘hanya’ sedikit menang. Dan kini, ditambah gunungan rasa lelah yang menjamah seluruh sendi kehidupanku. Aku benar – benar seperti terhimpit bongkahan batu raksasa material Merapi. Kini, aku ingin pasrah, namun bukan berarti menyerah! Aku ingin belajar pasrah dan segala tetek bengek tentang ilmu ikhlas.
            Aku hanya ingin semuanya mengalir, sesuai arus yang telah ditentukan oleh-Nya. Aku tak akan menerjang arus, atau membuat liku-ku sendiri. Aku ingin berkeyakinan bahwa kelokan sungai kehidupanku akan bermuara di lautan kebahagiaan kelak. Aku hanya ingin menjalaninya saja. Karena aku tak ingin mengurai segala benang keterpaksaan. Aku hanya ingin keikhlasan, seikhlas arus sungai yang mengikuti setiap kelokan. Tanpa tendensi…
Yk, 4 Nov 2012
22:30 WIB

Rabu, 31 Oktober 2012

Akumulasi

               Selamat pagi, Tuhan… Terimakasih atas anugerah-Mu dalam tiap pagiku. Dan selamat pagi, Raditya-san, matahariku… Hari ini aku merasakan suatu hal yang sangat membuatku bersemangat. Seolah ada gunungan kebahagiaan yang menumpuk dan memuncak di hatiku. Mungkin inilah yang namanya akumulasi kebahagiaan. Aku yakin, segala akumulasi ini juga karenamu.
                Kamis lalu, tepatnya tanggal dua puluh lima. Pagi itu, saat sahur, rasanya aku begitu kecewa. Apalagi setelah datang sepucuk pesanmu melalui getaran ponselku yang mengatakan bahwa kau tak bisa mengantarku siang nanti. Mana kau menyangkutkan segala sesuatunya dengan dia! Kau tahu, ini semua membuatku tak nyaman.
                Aku hanya berusaha menyabarkan hatiku berhubung hari itu aku memutuskan untuk puasa Arafah. Aku berusaha menjalani hariku dengan senyum, meski entah yang terbentuk senyum kecut, senyum asimetris, atau malah seringai menyebalkan! Hingga jam Matematika yang menjadi awal seulas senyum manis pun datang. Seorang temanku bernama Ardi oleh PPL Matematika diberitahu bahwa arti Ardi dalam bahasa Jawa adalah gunung.
                Serta merta, Mamet teringat oleh Ardito. Dan karena Mamet teringat oleh Ardito, tiba – tiba aku ingat selarik tulisan di buku pepak basa jawa-ku jaman Sekolah Dasar yang sudah usang bahwa Raditya = Srengenge atau dalam bahasa Indonesianya adalah matahari. Ya, kau memang layaknya matahari bagiku. Kadang – kadang kau membakarku dalam terikmu, namun kau lebih banyak menerangi dan menghangatkan hidupku. Akhirnya, aku mampu sedikit tersenyum. Hingga datang lagi sepucuk pesan darimu…
                ‘Kalau aku bisa antar kamu, terus gimana?’ dadaku membuncah oleh segala macam kemungkinan manis yang kan terjadi…
                Ya aku minta anter kamu lah, mas…’
                ‘Yaudah, aku bisa kok dek.’
                ‘Ha? Beneran mas?’
                ‘Iyalah sayang. Mana sih tempatnya?’
                ‘Itu… Depan SMP empat
                ‘Okedeh… Nanti aku anter aja.’ Tuhan. Terimakasih.
                Kamis yang manis… Bel berdentang tanda jam terakhir telah usai. Aku menggendong tas kuningku yang teramat mencolok dan ponselku tak pernah lepas dari genggaman. Atas permintaanmu, akhirnya aku berjalan menuju kelasmu. Jantungku hampir berhenti saat kulihat banyak sekali teman – temanmu. Mas Rozak, Mas Dewan, dan mas – mas lain entah siapa saja aku tak mengerti. Semuanya menyuarakan satu hal yang sama “Weh? Wah! Cie balikan!”
                Aku tersipu malu, sementara kau tersenyum jumawa sembari meng-kode mereka untuk diam. Kita berjalan bersama menuju parkiran yang tepat berada di balik kelasmu. Aku duduk untuk yang ketiga kalinya di jok belakang sepeda motormu sembari tersenyum. Tuhan, aku sangat merindukan ini. Roda terus melaju keluar parkiran, dan aku melihat banyak temanku yang yakin-tak yakin pasti melihatku. Aku menunduk, antara bingung, malu, dan bahagia. Aku turun di pos satpam dan mengambil helm putihku lamaku.
                Roda kembali melaju memecah teriknya mentari. Entah mengapa, hari ini aku sangat nyaman berada di belakangmu. Beberapa kali aku melayangkan cubitanku yang dulu, yang katamu selalu kau rindukan. Entah kenapa, aku merasakan ada semangat baru yang membuncah dalam diriku. Aku benar – benar bahagia. Aku teringat sedikit percakapan kita di jalan ketika itu…
                “Kamu perginya dua minggu ya?”
                “Iya nih…”
                “Oleh – oleh ya jangan lupa… Hehe.”
                “Iya iya pasti deh…”
                “Tapi sebenarnya, kamu pulang dengan selamat itu udah jadi oleh – oleh paling penting buatku.”
Aku hanya tersenyum. Aku tahu wajahku memerah, dan kurasa kau juga tahu. Namun, dalam hati aku berjanji aku pasti akan membawakan sesuatu untukmu. Termasuk sejuta cerita kehidupan disana, dan tentunya keselamatanku—yang bagimu adalah oleh – oleh paling penting. Tanpa terasa, kau sudah sampai di depan kantor Dinas Pendidikan, destinasiku hari ini. Aku turun dari sepeda motormu, berusaha tersenyum semanis mungkin. Dan saat itu, Ofi—salah satu temanku pertukaran pelajar datang sembari melempar senyum – senyum menggoda penuh tanya. Dan aku masih ingat kata – katamu sebelum kau pergi, “Kalau nggak ada yang jemput, bilang aku aja ya? Insya Allah aku jemput…”
                Dugaanku tak jauh meleset. Selesai ukur rok untuk seragam pertukaran pelajar, aku dan teman – teman baruku dari berbagai sekolah duduk sembari bersenda gurau seperti biasa. Ofi mulai menjadi provokator untuk menggodaiku. Hampir semua orang mengatakan ‘cie’ secara bersamaan. Dan ketika mereka bertanya tentang siapakah dirimu, aku terdiam seribu bahasa. Aku tak mengerti. Pacarku? Bukan. Kakak kelas biasa? Tidak mungkin mau mengantarku. Akhirnya dengan memantapkan hati aku menjawab, “Insya Allah dia masa depanku…” Dan kau tahu? Mereka serempak berkata Amin!
                Jumat. Hari Raya Idul Adha. Namun, bagiku ada yang kurang dalam Idul Adha kali ini. Aku terpaksa tidak bisa sholat ied karena kehendak-Nya. Akhirnya, aku hanya menghabiskan seharian di rumahku, melakukan beberapa pekerjaan rumah yang sedikit terbengkalai. Untung ada kau, matahariku yang senantiasa membesarkan hatiku. Siang itu, kau tak membalas pesanku karena memang kau sedang sholat Jumat. Dan aku membuat sebuah tweet berbunyi “Hai kamu, lagi jumatan ya? Bagus deh… Semoga kelak kau bisa menjadi imam dalam tiap sholatku…” Dan ketika kau mengetahuinya, tanpa basa basi kau menjawabnya dengan “Amiin…”
                Hari ini pun sebenarnya kau tak semanis biasanya padaku. Interval tiap pesan antara kau dan aku paling cepat hanyalah 5 menit, tak seperti dulu dan tak seperti biasanya. Ah, aku hanya berusaha memaklumi dan memahamimu. Mungkin kau sibuk, tak seperti dulu. Namun, agaknya ini juga salah satu jurus tarik-ulurmu yang membuat kita tak pernah merasa bosan satu sama lain…
                Sabtu, sebuah harpitnas alias hari kejepit nasional. Jika boleh jujur, aku sangat malas masuk sekolah hari ini. Namun, pengambilan nilai Seni Musik memaksaku untuk masuk pagi ini. Dan karena ada pengajian hari ini, aku membawa selembar kerudung paris cokelat yang akan kukenakan nanti saat pengajian. Pun hari ini, kau membalas pesanku seperti biasa. Singkat, padat, dan lama. Sedikit membuatku merasa tak nyaman, namun aku bisa apa?
                Usai pengajian yang sedikit membosankan seperti biasa, kau tak kunjung membalas pesanku. Aku hanya mengikuti Tasya, Firda, dan Dian ke kelas, agaknya mereka hendak mengerjakan tugas. Pukul dua belas kurang sedikit, seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk melangkah pulang dan melewati geduk induk untuk menyapa beberapa kawanku disana sebentar. Dan aku melihatmu! Oh Tuhan, apakah kita berjodoh? Bersamaan dengan itu, masuk pula sebaris pesan darimu yang mengajakku pulang bersama.
                Dua sepeda biru memecah siang yang menantang. Dua senyum terus mengembang sepanjang jalan yang terbentang. Sesungging senyum malu – malu, dan seulas senyum simpul jahil milikmu. Selalu dan selalu begitu, jalanan yang kita lewati terlalu cepat berlalu. Tak disangka, kita sudah sampai di tempat kita biasa bertemu atau berpisah. Aku tersenyum hangat dan melambaikan tanganku, dan masih kudengar satu kata darimu “Hati – hati…” Harusnya kau yang hati – hati, Radit-san…
                ‘Makasih udah mau bareng..hehe’ Ah lagi – lagi sebaris pesan manis darimu.
                ‘Kembali kasih, mas…’
                ‘Kau cantik hari ini ;)’
                ‘Masa sih mas? Enggak ah :S’
                ‘Menurutku iya kok :)’
                Raditya-san… Agaknya aku harus berterimakasih pada-Nya… Karena Ia menganugerahkan kau padaku. Seorang mood booster, musuh yang menyebalkan, sahabat yang mengasyikkan, pengingat dikala aku salah, seorang kakak, seorang lelaki yang terkadang bertindak bagai pacar, spiderman dalam hidupku, yang terkadang bisa menjadi seorang ayah bagiku. Dan itu semua ada dalam satu paket. Yaitu kau, Raditya…
Oktober 2012

Selasa, 23 Oktober 2012

Matematika Bisa Unyu :3


Kemarin Kamis tanggal 4, aku mendapat materi bab baru yaitu Peluang atau Probabilitas. Dan yang pertama kali kita pelajari adalah Kaidah Pencacahan, diantaranya ada Aturan Pengisian Tempat, Permutasi, dan Kombinasi.
Tapi, hari itu, kita belajar aturan pengisian tempat dulu. Ada berbagai metode, misalnya dengan Diagram Pohon, Tabel Silang, dan Pasangan Berurutan. Nah selanjutnya aku mau ngutip dari catetanku nih! Begini bunyinya…

Misal tersedia n buah tempat dengan k1 adalah banyak cara mengisi tempat pertama, k2 adalah banyak cara mengisi tempat kedua, dan seterusnya sampai kn yang merupakan banyak cara untuk mengisi tempat ke-n. Maka, banyak cara untuk mengisi n tempat yang tersedia secara keseluruhan adalah:
k1 x k2 x k3 x k4 x…xkn
Contoh soal: *nah ini nih yang bikin unyu :3 dan ngakak selama sejam pelajaran*
Seseorang bernama Rifai (bukan nama sebenarnya) mempunyai 3 celana berwarna pink, hijau pupus, dan biru laut; mempunyai 2 kaos berwarna kuning, dan ungu; mempunyai 3 sepatu berwarna kuning emas, silver, dan oranye; mempunyai 2 bando putih dan merah kembang – kembang; mempunyai 3 rok mini berwarna lorek macan, polkadot pelangi, dan lorek hitam; mempunyai 2 kacamata yang satu tanpa lensa dan kacamata kuda; mempunyai 4 pita cokelat, hitam, ungu dan jambon; dan 2 payung cantik biru doraemon dan dora. Berapa banyak cara Rifai memakai celana, kaos, sepatu, bando, rok mini, kacamata, pita, dan payung berganti – ganti dan bergaya di perempatan?
Jawab: 3 x 2 x 3 x 2 x 3 x 2 x 4 x 2= 1728

*lo bayangin, di kelas gue kebetulan ada yang namanya Rifai! Dan otomatis kita langsung ngebayangin dia begitu… Sementara dia sok – sokan bergaya cucook boo’ macam gitu… Gimana gue dan kelas tercinta gue gak ngakak? -_- Bu Nur emang bisaa aja :3 Dan ternyata Matematika bisa unyu dan bikin ngakak juga yaa :3*

By the way, gue mau nitip #octoberwish nih :)
#OctoberWish
·        MID Semester 1 ini sebangku sama yang udah kenal, atau sebangku sama anak yang ramah dan enak diajak ngobrol *biar ga boring gitu*
·        MID Semester 1 ini bisa menunjukkan kalau aku bisa lagi berada di posisi peringkat satu pararel lagi atau seenggaknya dua deh hehe :3
·        Allah memberikan kemudahan tiada tara buatku ngerjain MID Semester…
·        Allah memberiku kemudahan buat nyelesain BAB 2 dari karya tulis ilmiahku :3
·        Allah memberikan kekuatan dan kesembuhan pada teman curhatku tercinta Anindwitya Rizqi Monica yang habis kecelakaan :’)
·        Allah memberiku senyuman untuk menghadapi semua cobaan :’)
·        Adek – adek kelas X peleton cowok calon tonti Kartika 2012 nggak pada molor yang bayar seragamnyaa :3 #maksa
·        Semoga di tanggal keramat—tanggal dua belas—nggak ada lagi galau – galau dan bulir air mata yang menetes :D
·        Peleton Inti KARTIKA SMA Negeri 7 Yogyakarta semakin jaya!
·        Gladhi Tangguh Jurnalistik Majalah BRATA cepetan kelar dengan mulus dan lancar :)
·        Semoga kelas XI IPA 3 a.k.a Palu semakin kompak dan semakin jaya! *ayo buktikan bahwa kita kelas super seperti kata mereka :3*
·        Semoga kau yang disana tak lagi membuatku terpaksa menjatuhkan air mata lagi :’)
·        Semoga Seveners’013 bisa selalu mencapai apa yang dicita – citakan :)
·        Semoga Seveners’014 bisa mencapai prestasi yang lebiih dan lebiih tinggi lagi :)
·        Semoga Seveners’015 bisa semakin dewasa, memahami bagaimana dunia SMA, dan tidak terlalu rese pada banyak hal :)
·        Allah senantiasa melimpahkan rizqi dan karunia-Nya padaku :3 #amiin amiin

Yeah this is my #OctoberWish or maybe Wishes ya? Banyak banget soalnya harapannya :p