Rabu, 31 Oktober 2012

Akumulasi

               Selamat pagi, Tuhan… Terimakasih atas anugerah-Mu dalam tiap pagiku. Dan selamat pagi, Raditya-san, matahariku… Hari ini aku merasakan suatu hal yang sangat membuatku bersemangat. Seolah ada gunungan kebahagiaan yang menumpuk dan memuncak di hatiku. Mungkin inilah yang namanya akumulasi kebahagiaan. Aku yakin, segala akumulasi ini juga karenamu.
                Kamis lalu, tepatnya tanggal dua puluh lima. Pagi itu, saat sahur, rasanya aku begitu kecewa. Apalagi setelah datang sepucuk pesanmu melalui getaran ponselku yang mengatakan bahwa kau tak bisa mengantarku siang nanti. Mana kau menyangkutkan segala sesuatunya dengan dia! Kau tahu, ini semua membuatku tak nyaman.
                Aku hanya berusaha menyabarkan hatiku berhubung hari itu aku memutuskan untuk puasa Arafah. Aku berusaha menjalani hariku dengan senyum, meski entah yang terbentuk senyum kecut, senyum asimetris, atau malah seringai menyebalkan! Hingga jam Matematika yang menjadi awal seulas senyum manis pun datang. Seorang temanku bernama Ardi oleh PPL Matematika diberitahu bahwa arti Ardi dalam bahasa Jawa adalah gunung.
                Serta merta, Mamet teringat oleh Ardito. Dan karena Mamet teringat oleh Ardito, tiba – tiba aku ingat selarik tulisan di buku pepak basa jawa-ku jaman Sekolah Dasar yang sudah usang bahwa Raditya = Srengenge atau dalam bahasa Indonesianya adalah matahari. Ya, kau memang layaknya matahari bagiku. Kadang – kadang kau membakarku dalam terikmu, namun kau lebih banyak menerangi dan menghangatkan hidupku. Akhirnya, aku mampu sedikit tersenyum. Hingga datang lagi sepucuk pesan darimu…
                ‘Kalau aku bisa antar kamu, terus gimana?’ dadaku membuncah oleh segala macam kemungkinan manis yang kan terjadi…
                Ya aku minta anter kamu lah, mas…’
                ‘Yaudah, aku bisa kok dek.’
                ‘Ha? Beneran mas?’
                ‘Iyalah sayang. Mana sih tempatnya?’
                ‘Itu… Depan SMP empat
                ‘Okedeh… Nanti aku anter aja.’ Tuhan. Terimakasih.
                Kamis yang manis… Bel berdentang tanda jam terakhir telah usai. Aku menggendong tas kuningku yang teramat mencolok dan ponselku tak pernah lepas dari genggaman. Atas permintaanmu, akhirnya aku berjalan menuju kelasmu. Jantungku hampir berhenti saat kulihat banyak sekali teman – temanmu. Mas Rozak, Mas Dewan, dan mas – mas lain entah siapa saja aku tak mengerti. Semuanya menyuarakan satu hal yang sama “Weh? Wah! Cie balikan!”
                Aku tersipu malu, sementara kau tersenyum jumawa sembari meng-kode mereka untuk diam. Kita berjalan bersama menuju parkiran yang tepat berada di balik kelasmu. Aku duduk untuk yang ketiga kalinya di jok belakang sepeda motormu sembari tersenyum. Tuhan, aku sangat merindukan ini. Roda terus melaju keluar parkiran, dan aku melihat banyak temanku yang yakin-tak yakin pasti melihatku. Aku menunduk, antara bingung, malu, dan bahagia. Aku turun di pos satpam dan mengambil helm putihku lamaku.
                Roda kembali melaju memecah teriknya mentari. Entah mengapa, hari ini aku sangat nyaman berada di belakangmu. Beberapa kali aku melayangkan cubitanku yang dulu, yang katamu selalu kau rindukan. Entah kenapa, aku merasakan ada semangat baru yang membuncah dalam diriku. Aku benar – benar bahagia. Aku teringat sedikit percakapan kita di jalan ketika itu…
                “Kamu perginya dua minggu ya?”
                “Iya nih…”
                “Oleh – oleh ya jangan lupa… Hehe.”
                “Iya iya pasti deh…”
                “Tapi sebenarnya, kamu pulang dengan selamat itu udah jadi oleh – oleh paling penting buatku.”
Aku hanya tersenyum. Aku tahu wajahku memerah, dan kurasa kau juga tahu. Namun, dalam hati aku berjanji aku pasti akan membawakan sesuatu untukmu. Termasuk sejuta cerita kehidupan disana, dan tentunya keselamatanku—yang bagimu adalah oleh – oleh paling penting. Tanpa terasa, kau sudah sampai di depan kantor Dinas Pendidikan, destinasiku hari ini. Aku turun dari sepeda motormu, berusaha tersenyum semanis mungkin. Dan saat itu, Ofi—salah satu temanku pertukaran pelajar datang sembari melempar senyum – senyum menggoda penuh tanya. Dan aku masih ingat kata – katamu sebelum kau pergi, “Kalau nggak ada yang jemput, bilang aku aja ya? Insya Allah aku jemput…”
                Dugaanku tak jauh meleset. Selesai ukur rok untuk seragam pertukaran pelajar, aku dan teman – teman baruku dari berbagai sekolah duduk sembari bersenda gurau seperti biasa. Ofi mulai menjadi provokator untuk menggodaiku. Hampir semua orang mengatakan ‘cie’ secara bersamaan. Dan ketika mereka bertanya tentang siapakah dirimu, aku terdiam seribu bahasa. Aku tak mengerti. Pacarku? Bukan. Kakak kelas biasa? Tidak mungkin mau mengantarku. Akhirnya dengan memantapkan hati aku menjawab, “Insya Allah dia masa depanku…” Dan kau tahu? Mereka serempak berkata Amin!
                Jumat. Hari Raya Idul Adha. Namun, bagiku ada yang kurang dalam Idul Adha kali ini. Aku terpaksa tidak bisa sholat ied karena kehendak-Nya. Akhirnya, aku hanya menghabiskan seharian di rumahku, melakukan beberapa pekerjaan rumah yang sedikit terbengkalai. Untung ada kau, matahariku yang senantiasa membesarkan hatiku. Siang itu, kau tak membalas pesanku karena memang kau sedang sholat Jumat. Dan aku membuat sebuah tweet berbunyi “Hai kamu, lagi jumatan ya? Bagus deh… Semoga kelak kau bisa menjadi imam dalam tiap sholatku…” Dan ketika kau mengetahuinya, tanpa basa basi kau menjawabnya dengan “Amiin…”
                Hari ini pun sebenarnya kau tak semanis biasanya padaku. Interval tiap pesan antara kau dan aku paling cepat hanyalah 5 menit, tak seperti dulu dan tak seperti biasanya. Ah, aku hanya berusaha memaklumi dan memahamimu. Mungkin kau sibuk, tak seperti dulu. Namun, agaknya ini juga salah satu jurus tarik-ulurmu yang membuat kita tak pernah merasa bosan satu sama lain…
                Sabtu, sebuah harpitnas alias hari kejepit nasional. Jika boleh jujur, aku sangat malas masuk sekolah hari ini. Namun, pengambilan nilai Seni Musik memaksaku untuk masuk pagi ini. Dan karena ada pengajian hari ini, aku membawa selembar kerudung paris cokelat yang akan kukenakan nanti saat pengajian. Pun hari ini, kau membalas pesanku seperti biasa. Singkat, padat, dan lama. Sedikit membuatku merasa tak nyaman, namun aku bisa apa?
                Usai pengajian yang sedikit membosankan seperti biasa, kau tak kunjung membalas pesanku. Aku hanya mengikuti Tasya, Firda, dan Dian ke kelas, agaknya mereka hendak mengerjakan tugas. Pukul dua belas kurang sedikit, seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk melangkah pulang dan melewati geduk induk untuk menyapa beberapa kawanku disana sebentar. Dan aku melihatmu! Oh Tuhan, apakah kita berjodoh? Bersamaan dengan itu, masuk pula sebaris pesan darimu yang mengajakku pulang bersama.
                Dua sepeda biru memecah siang yang menantang. Dua senyum terus mengembang sepanjang jalan yang terbentang. Sesungging senyum malu – malu, dan seulas senyum simpul jahil milikmu. Selalu dan selalu begitu, jalanan yang kita lewati terlalu cepat berlalu. Tak disangka, kita sudah sampai di tempat kita biasa bertemu atau berpisah. Aku tersenyum hangat dan melambaikan tanganku, dan masih kudengar satu kata darimu “Hati – hati…” Harusnya kau yang hati – hati, Radit-san…
                ‘Makasih udah mau bareng..hehe’ Ah lagi – lagi sebaris pesan manis darimu.
                ‘Kembali kasih, mas…’
                ‘Kau cantik hari ini ;)’
                ‘Masa sih mas? Enggak ah :S’
                ‘Menurutku iya kok :)’
                Raditya-san… Agaknya aku harus berterimakasih pada-Nya… Karena Ia menganugerahkan kau padaku. Seorang mood booster, musuh yang menyebalkan, sahabat yang mengasyikkan, pengingat dikala aku salah, seorang kakak, seorang lelaki yang terkadang bertindak bagai pacar, spiderman dalam hidupku, yang terkadang bisa menjadi seorang ayah bagiku. Dan itu semua ada dalam satu paket. Yaitu kau, Raditya…
Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar