Selasa, 01 Januari 2013

Menari dan Menulis Itu…


                Layaknya tiap orang, aku juga memiliki sesuatu hal yang menentramkan jiwaku. Mungkin banyak orang memilih kegiatan ini dan itu, mungkin ada yang suka bersepeda, mendengarkan lagu, menggambar, menyepi di suatu tempat, dan sejuta aktifitas lainnya. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang lain, aku memilih menari dan menulis. Ke-na-pa?
                Sepanjang catatan sejarah kehidupanku, aku mengenal tarian, aku belajar menari, semua sejak usiaku lebih kurang 5 tahun. Ibuku yang dulunya adalah penari ‘memaksaku’ belajar menari. Sejujurnya, dulu ketika masa putih-merah, aku tidak suka menari. Ibuku yang terus memaksaku dengan berbagai ultimatum. Pernah suatu ketika aku malas, dan Ibuku langsung mengancam “Kalau sekarang kamu nggak berangkat nari, kamu nggak boleh nari seumur hidup.” Nyaliku langsung ciut, dan aku langsung keluar rumah untuk latihan. Ya, aku berlatih di rumahku sendiri, karena di rumahku didirikan sebuah sanggar tari.
                Lambat laun aku mulai mencintainya. Aku menjadikan ability menariku ini sebagai suatu ciri khas di diriku, suatu kebanggaan bagi diriku. Sebuah ciri khas yang membuatku berbeda dari anak-anak lainnya. Itu adalah anggapanku ketika awal aku memasuki masa putih-biru. Aku masih rutin latihan menari di sanggarku, Sanggar Tari Wiraga Apuletan. Aku menempa diriku lebih jauh lagi, meski aku masih belum berhasil meraih juara tari selama itu. Aku terus menekuninya, kadang sedikit berjumawa karena jarang anak seusiaku yang bisa menari. Bangga rasanya mendengar temanku berkata, “Wita kamu penari ya? Wah, hebat banget… Jarang lho ada anak muda sekarang yang bisa nari Jawa gitu.”
                Kini, di masa putih-abu, aku menyadari satu hal yang jauh lebih dalam daripada sekedar itu. Menari adalah jiwaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa dengan menari itu semua akan meluruhkan ketidaknyamanan di hatiku. Aku belajar menari memang tidak untuk sebagai profesi, namun ini semua murni demi kenyamanan batin. Ketika menari, aku harus bisa menyatukan rasaku. Ketika aku menarikan tarian yang bernuansa senang, meskipun hatiku sedang terluka, aku jadi bisa tersenyum manis karena aku harus menjiwai tarian tersebut.
                Biasanya, senyum itu akan terbawa dalam kehidupan sehari-hariku. Dan kelihaian menutupi perasaan juga ikut terbawa dalam kehidupanku. Ketika aku menari, sisi lainku akan keluar. Sisi feminimku yang sehari-hari sering tertutupi tingkahku yang sedikit tomboy. Dengan menari, aku berhasil memusatkan segala konsentrasi dalam satu hal. Aku tak heran mendengar celoteh temanku yang bicara begini, “Aneh ya Wit kamu… Kalau di kehidupan biasa kayaknya orangnya cuek, tomboy, ya cowok banget. Tapi, begitu menari, kamu kelihatan anggun banget, cewek banget lah intinya!”
                Semua gerakan yang dibentuk oleh anggota tubuhku rasanya memberikan suatu kelegaan tersendiri. Bahkan kini , ketika mendengar musik hip hop pun aku bisa bergerak sesuai apa yang ada di pikiranku, tak peduli jelek atau bagus. Yang penting aku bergerak, aku menari. Titik. Menari tradisional dan modern, sama-sama membahagiakan. Hanya saja, ketika aku ingin merasakan kebebasan, aku akan memilih memutar lagu hip hop dan dance. Namun, ketika aku ingin merasakan keanggunan, ketika aku ingin merasakan bagaimana pesona dan kewibawaan seorang ‘putri’ aku akan lebih memilih memutar gending-gending Jawa.
                Menulis. Satu kata sederhana ini juga memberikan kelegaan yang sama maksimalnya dengan menari. Aku mulai suka menulis sejak aku duduk di bangku putih-merah. Aku masih ingat puisi pertamaku yang berhasil dimuat di sebuah surat kabar harian Kompas, puisi tentang jasa guru. Ketika sekarang ini aku membaca ulang, jujur aku ingin tertawa. Betapa ‘hancur’ hasil karyaku itu. Namun, itu lah tonggak kepercayadirianku untuk menulis.
                Setelah itu aku terus menulis dan menulis. Masa SMP mungkin adalah masa yang lumayan gelap bagi karir kepenulisanku di bidang sastra. Belum pernah satu puisi atau cerpenku dimuat di media massa. Namun, aku berhasil mendapat juara 3 dalam lomba menulis esai berbahasa Jawa. Dan prestasi itu yang menyumbangkan nilai 0,5 dalam NEM-ku.
                Mungkin masa putih-abu adalah masa paling ‘menyala’ dalam hal tulis menulis. Aku mengikuti jurnalistik, sebuah dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku mulai menulis sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan fiksi atau khayalanku semata. Aku juga mulai mengenal apa itu web log, atau blog. Disana aku membiarkan tulisanku berkejaran, berlarian, dan liar. Aku menulis apa saja yang aku mau. Mulai dari berbagi pengalaman, pengetahuan, sampai ehm curhat. Beberapa karya seperti puisi dan cerpen pun ku posting di blog. Sejujurnya aku ingin mendapatkan penilaian orang lain terhadap hasil karyaku.
                Akhir tahun 2012 ini, aku berkesempatan menjadi seorang reporter yang mengisi kolom remaja, Kaca di surat kabar harian lokal terbesar, Kedaulatan Rakyat. Disini aku belajar bagaimana menulis, bagaimana menjadi tepat waktu, dan sejuta pengalaman berharga lainnya. Aku benar-benar menyalurkan kegiatan menulisku sebagai hal yang positif. Sehingga, aku mulai menghargai waktu, dan tak terlalu banyak ber-galau-ria lagi sebagaimana remaja masa kini yang mengikuti arus ‘galau’.
                Menulis benar-benar memberikan kelegaan yang indah, kelegaan yang serupa tapi tak sama dengan menari. Dalam menari, semua lukaku terobati. Namun, dengan menulis, semua pesanku tersampaikan. Seperti saat ini. Ketika hatiku penuh sesak dengan sejuta alasan kenapa aku cinta menari dan menulis, lagi-lagi menulis datang sebagai ‘superman’ yang bersedia kujadikan alat untuk mengurangi kesesakan di hatiku.
                Jadi, ini adalah dua hal yang membahagiakanku, menenangkan hatiku, membuatku nyaman. Aku belajar menari untuk mencari kesenangan, aku menulis untuk mencari kelegaan. So, tolong, siapapun kamu… Jangan halangi aku, jangan mengacaukan suasana hatiku dengan mengacaukan image menari dan menulis yang sudah terpatri di hatiku. Aku hanya tetap ingin menari dengan bebas, latihan dengan nyaman, tanpa perlu mendengar suara sok mengatur. Aku tetap ingin menulis dengan bebas, tanpa ada orang yang merasa tersindir, dan balas menyindirku dengan tulisan.
Kalau aku ingin melakukan ini dan itu… Ya… Suka-suka aku kan? Ibuku aja nggak ngelarang :)

#ditulis ketika penulis sedang sedikit mangkel dengan seseorang, dan butuh teman curhat seperti halnya ‘tulisan’, agar penulis lega dan untuk memperingatkan siapa saja yang berusaha menghalangi niat suci penulis dalam menari dan menulis #tsaah #sokbanget *end* 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar