Gaktau kenapa.. Tiba - tiba lagu ini menjadi sangat indah di telingaku..
Arti katanya sangat tepat dan pas banget..
Sampe - sampe jadi most played di hapeku :3
Now.. Here we go!
2NE1 - Go Away (∪ ◡ ∪)
Neomu chisahajana neodapji mot-hajana
Jigeum jeokeungi andwae eojireoweo wae
Nuga nugurang hae-eojyeo niga narang hae-eojyeo
Jal saenggak-hago malhae, yeah
Nal ddaradanideon namja
Cham gwaenchanatdeon namja
Nan neo hana ddaemunae da bonaetneundae
Nuga nugurang hae-eojyeo niga narang hae-eojyeo
Nal eopshi jal salabwa, yeah
Tonight hapil ddo bineun naeryeo wae
Nae moseup chorahaejigae
Nal wiro hajineun ma
Ee son chiweo eejae naminikka
Nae geokjung malgo go away
Jipchak eopshi sarajyeo joolgae
Medal lil jul alatgaetji
Yeokgyeoweo chakgakhajima
Deo meotjin sarang mannalgae
Neol huhwaehagae mandeuleo julgae
Seulpeumeun jigeum ppooniya, boy
Cause love is over, love, love is over tonight
Just say what you gotta say
Eojjeom kkeut-kkaji meoteopni?
FiancĂ©? Beyonce! I’m walkin’ out of destiny
Chorahan holloga anin hwaryeohan solo, that’s my way
Modeungeol da jweosseuni oheeryeo nan huhwae an hae
Jiga deo seulpeun cheok
Kkeut-kkaji meoshitneun cheok
All you do is act a fool
You ain’t shi.t without your crew
Shigan eopseo, I gotta go
Annyeong, good bye, adios
Ni motnan eolgool dashin bogo shipjin ana no more
Tonight hapil ddo bineun naeryeo wae
Nae moseup chorahaejigae
Nal wiro hajineun ma
Ee son chiweo eejae naminikka
Nae geokjung malgo go away
Jipchak eopshi sarajyeo joolgae
Medal lil jul alatgaetji
Yeokgyeoweo chakgakhajima
Deo meotjin sarang mannalgae
Neol huhwaehagae mandeuleo julgae
Seulpeumeun jigeum ppooniya, boy
Cause love is over, love, love is over tonight
Go go away
Go away
Go away
Go away
Nae geokjung malgo go away
Jipchak eopshi sarajyeo joolgae
Medal lil jul alatgaetji
Yeokgyeoweo chakgakhajima
Deo meotjin sarang mannalgae
Neol huhwaehagae mandeuleo julgae
Seulpeumeun jigeum ppooniya, boy
Cause love is over, love, love is over tonight
Translation
You’re so cheap and this isn’t like you
I can’t get used to it now, It makes me dizzy, why
Who’s breaking up with who
You’re breaking up with me
Think it over before you say it, yeah
A guy that used to follow me around, a very decent guy
I let everything go for you alone
Who’s breaking up with who
You’re breaking up with me
Try living without me, yeah
Tonight of all times, why is it raining again
It makes me look so pitiful
Don’t try to console me
Move this hand, we’re strangers now
Don’t worry about me and go away
I’ll disappear, no strings attached
You thought I’d hang onto you
It’s disgusting, don’t misunderstand
I’ll meet someone so much better
I’ll make you regret it all
Sadness is only for now, boy
Cause love is over
Love, love is over tonight
Just say what you gotta say
How can you be uncool to the very end?
Fiancé? Beyonce
I’m walkin’ out of destiny
Not pitifully alone, but a glamorous solo
That’s my way
I gave it my all, so I don’t have regrets
Pretending like you’re more sad
Pretending you’re cool to the end
All you do is act a fool
You ain’t shi.t without your crew
I don’t have time, I gotta go
Annyeong, good bye, adios
I don’t want to see your ugly face again no more
Tonight of all times, why is it raining again
It makes me look so pitiful
Don’t try to console me
Move this hand, we’re strangers now
Don’t worry about me and go away
I’ll disappear, no strings attached
You thought I’d hang onto you
It’s disgusting, don’t misunderstand
I’ll meet someone so much better
I’ll make you regret it all
Sadness is only for now, boy
Cause love is over
Love, love is over tonight
Go go away
Go away
Go away
Go away
Don’t worry about me and go away
I’ll disappear, no strings attached
You thought I’d hang onto you
It’s disgusting, don’t misunderstand
I’ll meet someone so much better
I’ll make you regret it all
Sadness is only for now, boy
Cause love is over
Love, love is over tonight
--so bagemanaah teman teman?? lagu ini sumpah cocok buat gueeehh..
dan buat elo - elo semua yang susah move on..
sumpah elo WAJIB denger ini lagu!!
Salam satu MOVE ON :D
@erwitaDhutami
Minggu, 20 Mei 2012
Selasa, 08 Mei 2012
Antara Satu dan Dua :)
Ahooy ahooyy :D
Ini aku lagi keranjingan posting cerpen nih ;D
Bagi para readers yang budiman silakan membaca, boleh copas tapii cantumkan namaku sebagai pengarang yaah ;)
Enjoy it guys!
Ini aku lagi keranjingan posting cerpen nih ;D
Bagi para readers yang budiman silakan membaca, boleh copas tapii cantumkan namaku sebagai pengarang yaah ;)
Enjoy it guys!
Antara
Satu dan Dua
01–02–12. Kata Ana, sahabatku, hari
ini tanggal yang bagus. Tentu aku tahu, maksudnya adalah menyindirku tentang
kapan jadian dengan Mas Radit. Mas Radit adalah kakak kelasku di SMA ini dan
kami mulai dekat semenjak aku terpilih menjadi anggota peleton inti di sekolah
ini, yaitu sekitar enam bulan lalu. Sebenarnya, aku sangat enggan berharap ada
sesuatu yang istimewa terjadi hari ini. Lebih tepatnya, aku takut menghadapi
kekecewaan jikalau hari ini tidak terjadi hal istimewa yang kuharapkan.
Bel berdentang, seakan
menyelamatkanku dari mata pelajaran terakhir yang membuatku mengantuk setengah
mati. Mas Radit sudah menungguku di bangku panjang depan kelasku, seperti
biasanya. Hari ini, Ia nampak sedikit aneh. Ia seperti orang gugup menghadapi
ujian.
“Mas, kamu kenapa sih?” tanyaku heran.
“Enggak apa – apa. Bisa ikut aku, ke lapangan basket
sebentar?” Aku terdiam, memandangnya heran.
“Please…” Ia memohon, menggenggam
tanganku. Dan sebentar saja dan kami sampai di lapangan basket yang tak terlalu
ramai, dan tak terlalu sepi.
“Aku… Aku… Aku mau ngomong.” Ia
sedikit terbata.
“Iya. Ada apa?” aku makin heran
dengan sikapnya.
“Aku… Mmm… Sebentar…” Ia membuka
ransel biru-hitamnya.
“Aku ada sesuatu buat kamu…” katanya
sembari tersenyum tulus dan mengeluarkan sesuatu. Benda itu boneka beruang
berukuran sedang, berwarna krem, yang sedang menggenggam bunga mawar merah muda
di tangan kanannya.
“Aku… Maksudku, lewat ini… Aku… Mau
bilang. Aku sayang kamu, aku serius sama kamu… Kamu… Kamu….” Ia sedikit
terbata. Mas Radit mengambil nafas dalam, dan mengeluarkannya perlahan.
“Kamu… Mau jadi pacarku?” lanjutnya
pada akhirnya. Aku terdiam seribu bahasa. Lututku lemas, aku hampir tak
percaya.
“Maaf… Aku nggak bisa…” kataku
pelan. Aku menangkap sebersit kekecewaan di wajahnya, melalui sudut mataku.
Baru Ia membuka mulut akan menjelaskan, aku memotongnya…
“Maksudku. Aku nggak bisa nolak
kamu…” ujarku sembari tersenyum semanis mungkin. Tiba – tiba saja boneka cantik
itu berada di genggamanku.
“Jadi… Kamu… Nerima aku?? Jadi…
Kita…” ulangnya hampir tak percaya. Aku mengangguk cepat. Ia berbinar,
tersenyum bahagia. Hari ini benar – benar istimewa.
“Aku… Aku… Makasih, Dita…” ujarnya lega.
Aku dan Mas Radit kini sudah resmi
pacaran. Suatu hal yang pada awalnya, sangat tidak kubayangkan. Akhirnya,
setelah melewati momen yang sangat bersejarah bagi kami itu, kami pulang. Ia
menggenggam erat tanganku, tak mau melepasnya. Dan aku sangat bahagia.
~…~
12–04–12. Semua kisah manis delapan
bulan lalu usai sudah. Tidak ada lagi tawa, dan hanya bersisa perih dan derai
air mata. Namun, tangis itu tak lama menghias hariku. Aku mampu menghadapi
realita bahwa berpisah memang jalan terbaik bagi semuanya. Aku yakin aku mampu,
karena banyak orang yang menyayangi dan mendukung di sekitarku.
Aku harus mampu mengubur semuanya.
Andaikata hidup adalah buku tulis, aku harus merobek lembaran ini, dan menyimpannya
di bawah ranjang. Agar sebisa mungkin aku tak menjenguk lembar penuh kepedihan
itu. Lambat laun, aku mulai mampu tersenyum berkat sahabat dan keluargaku.
Dan di antara satu dan dua, memang
terdapat sejuta cerita. Aku juga tak mengerti mengapa satu dan dua selalu
menjadi saksi kisah bahagia dan sedih. Namun yang pasti, aku ingin meminta maaf
dan berterima kasih atas segalanya. Segala yang ada di antara satu dan dua.
Erwita
Danu Gondohutami
SMA
Negeri 7 Yogyakarta
Thankyou for reading :)
See you at the next story ;)
Jumat, 04 Mei 2012
Sesungging Senyuman Pagi :)
Ayayay.. WELCOME to My New POST :D
Disinii, saya NO MORE GALAU laah :)
Yang sudah biarlah sudah.. sekarang, aku mau posting cerpen niih.. Selamat menikmati ;D
Disinii, saya NO MORE GALAU laah :)
Yang sudah biarlah sudah.. sekarang, aku mau posting cerpen niih.. Selamat menikmati ;D
Sesungging
Senyuman Pagi
Oleh:
Erwita Danu Gondohutami
Semburat oranye cerah menghiasi hamparan lazuardi.
Secercah sinar sang surya menyusup di celah jendela kamarku. Sesosok perempuan
berusia 47 tahun muncul di hadapanku. Suaranya menyadarkanku dari buaian alam
mimpi. Ia tersenyum, dan kupanggil dia Ibu. Kubalas senyum tulusnya dengan
senyumku yang masih bau kasur. Padahal, beliau telah menyiapkan banyak hal
untukku dan adikku sejak pukul 03.30 dini hari tadi.
Aku beranjak dari ranjangku dengan sedikit malas. Baru
kusadari, ternyata tinggi Ibuku kurang lebih 5cm lebih pendek dariku. Ibu pun
termasuk gemuk, berat badannya sekitar 62kg. Ibu pernah bercerita dan
menunjukkan fotonya semasa muda. Dulu, rambut Ibu seperti rambutku sekarang,
panjang dan lurus meski tidak hitam. Namun, kini, beliau lebih memilih potongan
rambut pendek sebahu. Alasannya tentu agar lebih praktis.
Bagiku,
Ibu termasuk cantik. Apalagi saat beliau menunjukkan foto masa kuliahnya.
Kulitnya putih bersih, tidak seperti kulitku yang sawo matang. Justru adik
laki-lakiku yang mendapat kulit seperti Ibu, dan jujur itu membuatku sedikit
iri. Matanya bulat berwarna cokelat kehitaman, meski bulu matanya tidak
selentik milikku. Hidungnya mancung dan bibirnya tampak cantik. Entah menapa,
bibir Ibuku bisa berwarna merah jambu, meski tanpa lipstick yang menghiasinya.
Ibu
dianugerahi jari-jari tangan yang lentik, dan itu cukup membuatku iri. Meski
begitu, kami juga memiliki kesamaan yang lain. Dan satu hal itu adalah ukuran
betis kami yang tidak bisa dikatakan kecil. Saat aku mengeluh tentang betis
besarku yang selalu diejek oleh teman-teman, beliau selalu menenangkanku.
Bahkan, dengan santainya Ibu berujar, “Bukan anak Ibu, kalau betisnya tidak
besar.”
Terkadang,
aku berpikir. Mengapa Ibu masih sempat menyapu di pagi hari? Membuat teh hangat
untuk orang serumah? Memasak sarapan yang lezat dan lain-lain? Padahal, Ia
harus mengajar di sekolah. Beliau seorang guru tidak tetap yang mengajar Seni
Tari di sekolah dasar yang menjadi sekolahku 4 tahun lalu, SD Negeri Minggiran.
Ya, Ibuku dahulu adalah seorang penari. Beliau alumnus SMKI dan ISI Yogyakarta,
jurusan tari tentunya. Kecintaan beliau pada dunia tari sangat besar. Hingga
aku pun dipaksanya mempelajari seni tari.
“Bu,
nanti aku izin tidak latihan dulu ya?”
“Kenapa?”
“Capek,
Bu… Kan tadi aku sampai sore…”
“Kalau
nanti kamu tidak latihan, kamu tidak boleh menari selamanya…” Ooh… Ciut sudah
nyaliku untuk mangkir dari latihan menari.
Selain
gemar menari, Ibuku juga sangat mencintai tanaman. Halaman depan rumahku yang
tak terlalu luas ditumbuhi berbagai macam tanaman dari berbagai macam jenis. Tanaman hias, obat, bunga, buah, dan lain-lain, hampir
semua ada di halaman rumahku. Anggrek, melati, mawar, kenanga, rambutan,
alpukat, leci, matoa, stroberi, sirih, cemara, markisa, kamboja, dan
macam-macam lagi yang tidak kuketahui namanya berjejer rapi. Ibuku juga sangat
menyukai mawar putih. Menurut Ibu, ada kenangan tersendiri yang mampir di
benaknya saat beliau melihat mawar putih tersebut.
”Kalau
punya uang receh itu ditabung... Jangan asal diletakkan dimana-mana seperti
ini.” ujarnya saat melihat kamarku yang sangat berantakan setiap harinya.
”Hehe...
Iya, Bu...” aku hanya mampu menjawab seperti itu. Dari situ sudah bisa terbaca
bahwa Ibu gemar menabung. Beliau mempunyai banyak celengan bambu dan tanah liat
di rumah. Ibuku berbeda denganku yang sedikit boros.
Dari
sesungging senyum tulusnya di pagi hari, tak kan ada yang menyangkal jika
kukatakan beliau adalah pribadi yang ramah. Terhadap teman, tetangga, sahabat, dan terutama keluarga,
Ibu adalah orang yang sangat ramah dan murah hati. Bahkan, terhadap pak tua pemungut
sampah pun, Ibu selalu menyapa. Beliau tak segan berbagi jika memiliki sesuatu
yang lebih. Ibuku juga seorang pendengar yang baik, beliau pandai membawa diri
di berbagai situasi. Oleh karena itu, beliau memiliki banyak sekali relasi dari
berbagai kalangan.
”Erwan...
Kutilangnya jangan lupa dikasih makan...” panggil beliau pada adikku.
”Ya,
Bu...”
”Jangan
sampai telat dikasih makan, kasihan lho... Kalau ini burung punya Ibu pasti
sudah Ibu lepas ke alam bebas dari kemarin...” ujarnya. Ya, Ibuku sangat tidak
tega melihat burung terkurung dalam sangkar, ataupun hewan-hewan yang tersiksa
atau tidak terurus. Namun, karena burung kutilang yang kupanggil ”Kekek” itu
hanya amanah dari pamanku, terpaksa Ibu hanya bisa mengingatkan adikku untuk
merawatnya dengan baik.
Aku
mengigat-ingat lagi beberapa sifat-sifatku. Ternyata ada beberapa kesamaan
antara aku dan Ibu. Sifat keras, tegas, tangguh, dan kuat yang kumiliki
ternyata menurun dari beliau. Ibu selalu berani saat benar, dan tak segan untuk
meminta maaf saat bersalah. Sehingga, tak ada satu pun orang yang berani
menginjak harga diri Ibuku. Ibu juga banyak mengalami hal yang berat beberapa
tahun ini. Namun, nyatanya Ibu tetap kuat.
Aku
kembali teringat prahara besar yang terjadi di hidupku. Perkara yang sempat
membuatku kehilangan sesungging senyum milik Ibuku. Masalah yang membuat Ibuku
hanya tersenyum di luar rumah, namun menangis dan marah di dalam rumah.
Peristiwa yang mendewasakanku, dan membuatku berpikir ke depan. Entah mengapa,
hari ini aku teringat peristiwa itu. Peristiwa 3 tahun lalu, yang sempat
membuatku membenci Bapakku...
~...~
Aku
mengenakan seragam putih biruku. Baru 9 bulan aku memakai seragam itu. Namun,
keadaan di rumahku masih sama. Bahkan memburuk, kurasa. Bapak tak berubah sejak
6 atau mungkin hampir 7 tahun yang lalu. Beliau masih sama. Tak pernah bekerja
dengan jelas, dan selalu meminta. Ibu lah satu-satunya tulang punggung
keluarga. Beliau menanggung beban ekonomi sendirian. Ibu pula yang mendidikku,
tanpa campur tangan Bapak.
Dulu,
masa balitaku adalah masa paling bahagia. Beberapa kali terlintas dalam
memoriku, keluargaku yang harmonis dan bahagia berwisata bersama setiap hari
Minggu. Saat itu, kami masih tinggal di Balikpapan, kota kelahiranku, saat
Bapak masih menjadi manager area suatu perusahaan telekomunikasi. Namun, semua
berubah saat surat pemutusan hubungan kerja itu datang. Kami pulang ke
Yogyakarta, kota tempatku tumbuh besar sekarang. Tak kusangka, inilah awal dari
semuanya...
Bapak
seorang yang ambisius, egois, tak memiliki perhitungan, dan memiliki gengsi
yang sangat besar. Di usianya yang masih muda saat kembali ke Yogyakarta, Bapak
tak memanfaatkan waktunya untuk mencari kerja. Entah apa alasannya, beliau
memilih kerja sosial. Dan hingga di usianya yang senja, beliau belum mendapat
pekerjaan yang mapan. Tak lelah Ibu menyemangati, mendorong, bahakn mencarikan
pekerjaan untuk Bapak melalui relasinya yang banyak, namun Bapak tetap tak
berubah. Sejak usiaku lebih kurang 6 tahun, Ibuku sendiri yang membanting
tulang membiayai kehidupan. Ibuku sendiri yang berusaha keras untuk bisa
mencari sesuap nasi.
Sementara,
lihat aku! Aku kian besar, begitu pun adikku. Lulus sekolah dasar, masih ada
sekolah menengah pertama dan atas yang menantiku. Namun, Bapak tak kunjung
berubah, dan aku kian sedih melihat kondisi Ibuku. Selama ini, aku hanya
berusaha menjadi yang terbaik. Aku belajar keras, dan selalu menjadi juara kelas
di sekolah dasar. Aku pun berusaha mencari beasiswa di sekolah dasar dulu. Itu
semua demi membahagiakan Ibuku.
Kini,
aku dalam masa putih biruku. Ujian
tengah semester gasal, ujian semester gasal, dan ujian tengah semester genapku
menunjukkan hasil yang memuaskan. Tuhan menganugerahiku juara kelas dan juara 2
pararel. Suatu kebanggaan tersendiri bagiku, dan suatu kebahagiaan juga untuk
Ibu. Sementara ini, hanya prestasiku yang mampu membuat Ibu melukiskan
sesungging senyum tulusnya. Selebihnya hanya senyum palsu untuk menutup remuk
redam hatinya.
”Wita...
Erwan... Ibu mau menyampaikan sesuatu.” ujarnya pelan padaku dan adikku. Aku
berjalan menuju ruang tamu, menemui kedua orang tuaku.
”Ya...
Ada apa, Bu?” sahutku.
”Kalian
sudah besar sekarang... Kalian tahu kan apa yang terjadi pada keluarga kita
selama hampir 7 tahun ini?”
”Ya,
Bu... Kami tahu...” aku mewakili adikku dalam hal ini. Kulihat sinar kesedihan
dan kegalauan pada kedua matanya.
”Ibu
memutuskan akan pisah dengan Bapakmu. Pisah secara resmi tentunya... Ibu sudah
tidak tahan lagi, Ibu lelah 7 tahun ini seolah-olah Ibu mempunyai suami padahal
selama ini Ibu seperti orangtua tunggal.” katanya memulai semuanya. ”Ibu sudah
berunding dengan Bapakmu... Ibu meminta pendapat kalian terlebih dahulu. Pakdhe
dan Budhe akan Ibu minta pertimbangannya juga... Namun, Ibu ingin
mendengar pendapat anak-anak Ibu terlebih dahulu.” ujar Ibuku. Bapak tampak
terdiam, tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Ia bagai patung yang tepajang
disana, dan itu sungguh membuatku membencinya.
”Aku
ikhlas kalau Ibu sudah memutuskan begitu... Aku tahu perasaan Ibu, dan
penderitaan Ibu selama ini... Aku ikhlas menerima, dan aku mendukung Ibu
seratus persen jika itu membuat Ibu bahagia. Karena, Ibu sudah banyak berkorban
untukku, dan saat ini kebahagiaan Ibu lah yang paling utama.” jawabku. Entah
mengapa, air mataku menetes, lalu mengalir cukup deras. Hatiku berkata ikhlas,
namun entah mengapa aku menangis. Aku tak tahu untuk apa aku menangis. Tetapi,
air mata itu jatuh begitu saja, menuruni kedua pipiku.
”Terimakasih,
Wita, Anakku... Sekarang Erwan... Bagaimana pendapatmu?”
”Aku
sama seperti Mbak Wita... Aku juga ikhlas, asal itu membuat Ibu lega dan
bahagia... Aku mendukung Ibu, apapun keputusan Ibu pada akhirnya.” adikku berbicara
singkat, namun air matanya tak kalah deras dariku. Pertemuan hari itu selesai.
Aku kembali ke kamar tidurku dengan sejuta perasaan aneh berkecamuk dalam dada.
Samar
kudengar, dalam kamar tidurnya, isakan pelan. Aku tahu Ibu menangis, namun Ibu
tak ingin siapa pun mendengarnya. Aku teringat kutipan suatu novel berjudul
”Let Go” karya Windhy Puspitadewi yang kurang lebih berbunyi ’Ketika wanita
menangis, bukan berarti dia lemah. Namun, dia sudah tak mampu untuk berusaha
kuat.’ Kurasa kutipan itu ada benarnya juga. Karena, aku pun begitu.
Sejujurnya, aku lelah berpura-pura menjadi kuat. Aku ingin menjadi wanita yang
kuat, namun sisi wanitaku berkata aku harus menangis malam itu.
Selang
beberapa minggu, pengadilan agama mulai berbicara. Kedua orang tuaku mengikuti
sidang-sidang di pengadilan agama. Hanya empat kali sidang, dan keputusan telah
ditetapkan. Kini, Ibu dan Bapak telah resmi berpisah. Dan hak asuh anak berada
di tangan Ibu sepenuhnya. Karena, terbukti Bapak tidak bisa mencukupi kebutuhan
anak-anaknya. Terbukti, selama hampir 7 tahun ini, sebagai kepala keluarga,
Bapak tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Dan itu semua, membuatku
sangat membencinya. Aku membenci segala hal yang tidak bertanggung jawab di
hidupku.
Namun
Ibu adalah wanita yang baik. Ia memarahiku saat Ibu tahu aku membenci Bapak.
Ibu selalu menekankan bahwa beliau tetaplah Bapakku, apapun yang terjadi.
Lambat laun, aku mulai berhenti membencinya. Meskipun rasa simpatiku telah
menghilang sejak lama. Aku hanya tetap menghormatinya dan menghargainya sebagai
seorang Bapak, sebagai orang tua. Namun, bukan sebagai figur idola atau panutan
bagiku.
~...~
Masaku
telah berbeda. Aku telah melepas masa putih biruku, dan menggantinya dengan
masa putih abu-abu. Aku telah melewati masa putih biru dengan kebanggaan
tersendiri di hatiku. Setidaknya, aku sudah mengantongi beberapa piala dan
piagam yang kupersembahkan untuk Ibu. Prahara memilukan yang terjadi malah
menjadi suatu pembelajaran tersendiri bagi kehidupanku. Aku yakin di kehidupanku
yang selanjutnya, aku mampu belajar dari masa lalu, dari sejarah kehidupanku.
Aku tidak malu dengan keadaanku, justru dengan ini aku menjadi seorang anak
yang kaya akan pengalaman.
Aku
hanya bisa tersenyum simpul mengenangnya. Kini, kehidupanku sudah normal
seperti biasa. Sebenarnya, hanya aku lah yang terbiasa dengan kehidupanku yang
sekarang. Maklum, aku telah menjalaninya selama lebih kurang 3 tahun ini. Aku
tahu, aku bukan anak biasa. Aku mengalami hal yang sangat berat selama ini, dan
aku pun berbeda dari anak lainnya. Namun, tak pernah sedikitpun aku menyesali
hidupku, menyesali perkataan dan pernyataanku beberapa tahun lalu. Meski
akibatnya, aku menjadi anak yang istimewa.
Semua
orang beranggapan bahwa anak-anak sepertiku, yang orang tuanya berpisah, akan
menjadi anak berandalan yang tak tahu aturan. Namun aku dan adikku akan
membuktikan bahwa kami berbeda. Aku akan menjadi bintang yang terus bersinar
terang. Aku akan menyaingi sinar bintang yang lain, dan aku akan menjadi yang
paling terang. Aku akan terus berusaha menjadi yang terbaik, dengan caraku sendiri.
Demi terus melihat sesungging senyuman pagi milik Ibu.
Langganan:
Postingan (Atom)