Malam ini,
aku terbaring sendiri di tengah cahya temaram di kamarku. Rahangku mengatup
keras, berupaya menahan butiran halus yang sudah menggantung dan membuat mataku
panas. Aku lelah. Kedua tanganku—lengan atasku lebih tepatnya—terasa amat
sakit. Nyeri, pegal, entahlah! Namun, yang benar – benar menusuk adalah nyeri
di dadaku yang kian membuatku sesak.
Aku lelah.
Lelah berpikir tentangmu. Lelah mengharap balasan pesan darimu. Lelah berpikir
macam – macam jikalau sikapmu sedikit berubah padaku. Aku benar – benar lelah.
Aku tak pernah mengerti tentang kau dan jalan pikiranmu yang begitu berliku.
Aku lelah menyusuri jejak langkah lebarmu yang terasa kian menjauh tanpa aku
tahu sebabnya. Aku mencapai titik pasrah. Ini… Terasa… Semakin… Berat…
Namun, entah
aku ini bodoh, bebal, keras kepala atau apa. Aku terus berjalan, bahkan
setengah berlari. Berupaya mensejajari langkah lebarmu.. Meski aku harus
terseok, terjatuh, terluka, apa pun itu! Aku menyakiti diriku sendiri. Bodoh
kah aku? Salah kah aku? Namun, jika aku sadar bahwa ini perilaku bodoh, mengapa
aku masih melakukannya? Ada kah instingku berkata bahwa ini jalan terbaik? Ada
kah menyakiti diriku itu jalan terbaik?
Aku kalah.
Rahangku mengendur, bersamaan dengan buliran itu terjatuh perlahan menuruni
pipi dan membasahi bantalku. Aku baru menyadari betapa kuatnya air mata yang
sering dikata orang sebagai pertanda ‘kelemahan’. Air mata bahkan mampu
menembus pertahanan bajaku! Aku masih memegang erat ponselku, harap – harap
cemas. Aku berharap ponselku setidaknya bergetar lagi, meski interval waktunya
paling cepat 7-10 menit. Ah, semudah itu kah Tuhan menghapuskan perhatianmu
dulu? Menghapuskan getaran ponselku dengan interval waktu 3-5 menitku?
Aku
tersenyum miris mengingat nasibku sendiri. Aku selalu begitu. Kalah dan ‘hanya’
sedikit menang. Dan kini, ditambah gunungan rasa lelah yang menjamah seluruh
sendi kehidupanku. Aku benar – benar seperti terhimpit bongkahan batu raksasa
material Merapi. Kini, aku ingin pasrah, namun bukan berarti menyerah! Aku
ingin belajar pasrah dan segala tetek bengek tentang ilmu ikhlas.
Aku hanya
ingin semuanya mengalir, sesuai arus yang telah ditentukan oleh-Nya. Aku tak
akan menerjang arus, atau membuat liku-ku sendiri. Aku ingin berkeyakinan bahwa
kelokan sungai kehidupanku akan bermuara di lautan kebahagiaan kelak. Aku hanya
ingin menjalaninya saja. Karena aku tak ingin mengurai segala benang
keterpaksaan. Aku hanya ingin keikhlasan, seikhlas arus sungai yang mengikuti
setiap kelokan. Tanpa tendensi…
Yk, 4 Nov 2012
22:30 WIB
kenapa e beb?? kok tiba tiba galau lagi?? :O
BalasHapushaha nggak apa2 sayaang :) udah berlalu kok semuanyaa :')
BalasHapus