Layaknya
tiap orang, aku juga memiliki sesuatu hal yang menentramkan jiwaku. Mungkin
banyak orang memilih kegiatan ini dan itu, mungkin ada yang suka bersepeda,
mendengarkan lagu, menggambar, menyepi di suatu tempat, dan sejuta aktifitas
lainnya. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang lain, aku memilih menari
dan menulis. Ke-na-pa?
Sepanjang
catatan sejarah kehidupanku, aku mengenal tarian, aku belajar menari, semua
sejak usiaku lebih kurang 5 tahun. Ibuku yang dulunya adalah penari ‘memaksaku’
belajar menari. Sejujurnya, dulu ketika masa putih-merah, aku tidak suka
menari. Ibuku yang terus memaksaku dengan berbagai ultimatum. Pernah suatu
ketika aku malas, dan Ibuku langsung mengancam “Kalau sekarang kamu nggak
berangkat nari, kamu nggak boleh nari seumur hidup.” Nyaliku langsung ciut, dan
aku langsung keluar rumah untuk latihan. Ya, aku berlatih di rumahku sendiri,
karena di rumahku didirikan sebuah sanggar tari.
Lambat
laun aku mulai mencintainya. Aku menjadikan ability
menariku ini sebagai suatu ciri khas di diriku, suatu kebanggaan bagi diriku.
Sebuah ciri khas yang membuatku berbeda dari anak-anak lainnya. Itu adalah
anggapanku ketika awal aku memasuki masa putih-biru. Aku masih rutin latihan
menari di sanggarku, Sanggar Tari Wiraga Apuletan. Aku menempa diriku lebih
jauh lagi, meski aku masih belum berhasil meraih juara tari selama itu. Aku
terus menekuninya, kadang sedikit berjumawa karena jarang anak seusiaku yang
bisa menari. Bangga rasanya mendengar temanku berkata, “Wita kamu penari ya?
Wah, hebat banget… Jarang lho ada anak muda sekarang yang bisa nari Jawa gitu.”
Kini,
di masa putih-abu, aku menyadari satu hal yang jauh lebih dalam daripada
sekedar itu. Menari adalah jiwaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa dengan menari
itu semua akan meluruhkan ketidaknyamanan di hatiku. Aku belajar menari memang
tidak untuk sebagai profesi, namun ini semua murni demi kenyamanan batin.
Ketika menari, aku harus bisa menyatukan rasaku. Ketika aku menarikan tarian
yang bernuansa senang, meskipun hatiku sedang terluka, aku jadi bisa tersenyum
manis karena aku harus menjiwai tarian tersebut.
Biasanya,
senyum itu akan terbawa dalam kehidupan sehari-hariku. Dan kelihaian menutupi
perasaan juga ikut terbawa dalam kehidupanku. Ketika aku menari, sisi lainku
akan keluar. Sisi feminimku yang sehari-hari sering tertutupi tingkahku yang
sedikit tomboy. Dengan menari, aku berhasil memusatkan segala konsentrasi dalam
satu hal. Aku tak heran mendengar celoteh temanku yang bicara begini, “Aneh ya
Wit kamu… Kalau di kehidupan biasa kayaknya orangnya cuek, tomboy, ya cowok
banget. Tapi, begitu menari, kamu kelihatan anggun banget, cewek banget lah
intinya!”
Semua
gerakan yang dibentuk oleh anggota tubuhku rasanya memberikan suatu kelegaan
tersendiri. Bahkan kini , ketika mendengar musik hip hop pun aku bisa bergerak
sesuai apa yang ada di pikiranku, tak peduli jelek atau bagus. Yang penting aku
bergerak, aku menari. Titik. Menari tradisional dan modern, sama-sama
membahagiakan. Hanya saja, ketika aku ingin merasakan kebebasan, aku akan
memilih memutar lagu hip hop dan dance. Namun, ketika aku ingin merasakan
keanggunan, ketika aku ingin merasakan bagaimana pesona dan kewibawaan seorang
‘putri’ aku akan lebih memilih memutar gending-gending Jawa.
Menulis.
Satu kata sederhana ini juga memberikan kelegaan yang sama maksimalnya dengan
menari. Aku mulai suka menulis sejak aku duduk di bangku putih-merah. Aku masih
ingat puisi pertamaku yang berhasil dimuat di sebuah surat kabar harian Kompas,
puisi tentang jasa guru. Ketika sekarang ini aku membaca ulang, jujur aku ingin
tertawa. Betapa ‘hancur’ hasil karyaku itu. Namun, itu lah tonggak
kepercayadirianku untuk menulis.
Setelah
itu aku terus menulis dan menulis. Masa SMP mungkin adalah masa yang lumayan
gelap bagi karir kepenulisanku di bidang sastra. Belum pernah satu puisi atau
cerpenku dimuat di media massa. Namun, aku berhasil mendapat juara 3 dalam
lomba menulis esai berbahasa Jawa. Dan prestasi itu yang menyumbangkan nilai
0,5 dalam NEM-ku.
Mungkin
masa putih-abu adalah masa paling ‘menyala’ dalam hal tulis menulis. Aku
mengikuti jurnalistik, sebuah dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku mulai
menulis sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan fiksi atau khayalanku semata. Aku juga
mulai mengenal apa itu web log, atau blog. Disana aku membiarkan tulisanku
berkejaran, berlarian, dan liar. Aku menulis apa saja yang aku mau. Mulai dari
berbagi pengalaman, pengetahuan, sampai ehm curhat. Beberapa karya seperti
puisi dan cerpen pun ku posting di blog. Sejujurnya aku ingin mendapatkan
penilaian orang lain terhadap hasil karyaku.
Akhir
tahun 2012 ini, aku berkesempatan menjadi seorang reporter yang mengisi kolom
remaja, Kaca di surat kabar harian lokal terbesar, Kedaulatan Rakyat. Disini
aku belajar bagaimana menulis, bagaimana menjadi tepat waktu, dan sejuta
pengalaman berharga lainnya. Aku benar-benar menyalurkan kegiatan menulisku
sebagai hal yang positif. Sehingga, aku mulai menghargai waktu, dan tak terlalu
banyak ber-galau-ria lagi sebagaimana remaja masa kini yang mengikuti arus
‘galau’.
Menulis
benar-benar memberikan kelegaan yang indah, kelegaan yang serupa tapi tak sama
dengan menari. Dalam menari, semua lukaku terobati. Namun, dengan menulis,
semua pesanku tersampaikan. Seperti saat ini. Ketika hatiku penuh sesak dengan
sejuta alasan kenapa aku cinta menari dan menulis, lagi-lagi menulis datang
sebagai ‘superman’ yang bersedia kujadikan alat untuk mengurangi kesesakan di
hatiku.
Jadi,
ini adalah dua hal yang membahagiakanku, menenangkan hatiku, membuatku nyaman.
Aku belajar menari untuk mencari kesenangan, aku menulis untuk mencari
kelegaan. So, tolong, siapapun kamu… Jangan halangi aku, jangan mengacaukan
suasana hatiku dengan mengacaukan image menari dan menulis yang sudah terpatri
di hatiku. Aku hanya tetap ingin menari dengan bebas, latihan dengan nyaman,
tanpa perlu mendengar suara sok mengatur. Aku tetap ingin menulis dengan bebas,
tanpa ada orang yang merasa tersindir, dan balas menyindirku dengan tulisan.
Kalau aku ingin melakukan ini dan
itu… Ya… Suka-suka aku kan? Ibuku aja nggak ngelarang :)
#ditulis ketika penulis sedang
sedikit mangkel dengan seseorang, dan
butuh teman curhat seperti halnya ‘tulisan’, agar penulis lega dan untuk
memperingatkan siapa saja yang berusaha menghalangi niat suci penulis dalam
menari dan menulis #tsaah #sokbanget *end*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar