Selamat
pagi, Tuhan… Terimakasih atas anugerah-Mu dalam tiap pagiku. Dan selamat pagi,
Raditya-san, matahariku… Hari ini aku merasakan suatu hal yang sangat membuatku
bersemangat. Seolah ada gunungan kebahagiaan yang menumpuk dan memuncak di hatiku.
Mungkin inilah yang namanya akumulasi kebahagiaan. Aku yakin, segala akumulasi
ini juga karenamu.
Kamis
lalu, tepatnya tanggal dua puluh lima. Pagi itu, saat sahur, rasanya aku begitu
kecewa. Apalagi setelah datang sepucuk pesanmu melalui getaran ponselku yang
mengatakan bahwa kau tak bisa mengantarku siang nanti. Mana kau menyangkutkan
segala sesuatunya dengan dia! Kau tahu, ini semua membuatku tak nyaman.
Aku
hanya berusaha menyabarkan hatiku berhubung hari itu aku memutuskan untuk puasa
Arafah. Aku berusaha menjalani hariku dengan senyum, meski entah yang terbentuk
senyum kecut, senyum asimetris, atau malah seringai menyebalkan! Hingga jam
Matematika yang menjadi awal seulas senyum manis pun datang. Seorang temanku bernama Ardi oleh PPL Matematika diberitahu
bahwa arti Ardi dalam bahasa Jawa adalah gunung.
Serta merta, Mamet teringat oleh Ardito. Dan karena
Mamet teringat oleh Ardito, tiba – tiba aku ingat selarik tulisan di buku pepak basa jawa-ku jaman Sekolah Dasar
yang sudah usang bahwa Raditya = Srengenge
atau dalam bahasa Indonesianya adalah matahari. Ya, kau memang layaknya
matahari bagiku. Kadang – kadang kau membakarku dalam terikmu, namun kau lebih
banyak menerangi dan menghangatkan hidupku. Akhirnya, aku mampu sedikit tersenyum.
Hingga datang lagi sepucuk pesan darimu…
‘Kalau aku bisa
antar kamu, terus gimana?’ dadaku membuncah oleh segala macam kemungkinan
manis yang kan terjadi…
‘Ya aku minta anter
kamu lah, mas…’
‘Yaudah, aku
bisa kok dek.’
‘Ha? Beneran
mas?’
‘Iyalah
sayang. Mana sih tempatnya?’
‘Itu… Depan
SMP empat’
‘Okedeh…
Nanti aku anter aja.’ Tuhan. Terimakasih.
Kamis yang
manis… Bel berdentang tanda jam terakhir telah usai.
Aku menggendong tas kuningku yang teramat mencolok dan ponselku tak pernah lepas
dari genggaman. Atas permintaanmu, akhirnya aku berjalan menuju kelasmu.
Jantungku hampir berhenti saat kulihat banyak sekali teman – temanmu. Mas
Rozak, Mas Dewan, dan mas – mas lain entah siapa saja aku tak mengerti. Semuanya
menyuarakan satu hal yang sama “Weh? Wah! Cie balikan!”
Aku tersipu malu, sementara kau tersenyum jumawa sembari
meng-kode mereka untuk diam. Kita berjalan bersama menuju parkiran yang tepat berada
di balik kelasmu. Aku duduk untuk yang ketiga kalinya di jok belakang sepeda
motormu sembari tersenyum. Tuhan, aku sangat merindukan ini. Roda terus melaju
keluar parkiran, dan aku melihat banyak temanku yang yakin-tak yakin pasti melihatku.
Aku menunduk, antara bingung, malu, dan bahagia. Aku turun di pos satpam dan mengambil
helm putihku lamaku.
Roda kembali melaju memecah teriknya mentari. Entah mengapa,
hari ini aku sangat nyaman berada di belakangmu. Beberapa kali aku melayangkan
cubitanku yang dulu, yang katamu selalu kau rindukan. Entah kenapa, aku merasakan
ada semangat baru yang membuncah dalam diriku. Aku benar – benar bahagia. Aku teringat sedikit
percakapan kita di jalan ketika itu…
“Kamu
perginya dua minggu ya?”
“Iya
nih…”
“Oleh
– oleh ya jangan lupa… Hehe.”
“Iya
iya pasti deh…”
“Tapi
sebenarnya, kamu pulang dengan selamat itu udah jadi oleh – oleh paling penting
buatku.”
Aku
hanya tersenyum. Aku tahu wajahku memerah, dan kurasa kau juga tahu.
Namun, dalam hati aku berjanji aku pasti akan membawakan sesuatu untukmu. Termasuk
sejuta cerita kehidupan disana, dan tentunya keselamatanku—yang bagimu adalah
oleh – oleh paling penting. Tanpa terasa, kau sudah
sampai di depan kantor Dinas Pendidikan, destinasiku hari ini. Aku turun dari sepeda
motormu, berusaha tersenyum semanis mungkin. Dan saat itu, Ofi—salah satu temanku
pertukaran pelajar datang sembari melempar senyum – senyum menggoda penuh
tanya. Dan aku masih ingat kata – katamu sebelum kau pergi, “Kalau nggak ada
yang jemput, bilang aku aja ya? Insya Allah aku jemput…”
Dugaanku tak jauh meleset. Selesai ukur rok untuk seragam
pertukaran pelajar, aku dan teman – teman baruku dari berbagai sekolah duduk sembari
bersenda gurau seperti biasa. Ofi mulai menjadi provokator untuk menggodaiku.
Hampir semua orang mengatakan ‘cie’ secara bersamaan. Dan ketika mereka bertanya
tentang siapakah dirimu, aku terdiam seribu bahasa. Aku tak mengerti. Pacarku?
Bukan. Kakak kelas biasa? Tidak mungkin mau mengantarku. Akhirnya dengan memantapkan
hati aku menjawab, “Insya Allah dia masa depanku…” Dan kau tahu? Mereka serempak
berkata Amin!
Jumat. Hari Raya Idul Adha. Namun, bagiku ada yang
kurang dalam Idul Adha kali ini. Aku terpaksa tidak bisa sholat ied karena kehendak-Nya.
Akhirnya, aku hanya menghabiskan seharian di rumahku, melakukan beberapa pekerjaan
rumah yang sedikit terbengkalai. Untung ada kau, matahariku yang senantiasa membesarkan
hatiku. Siang itu, kau tak membalas pesanku karena memang kau sedang sholat
Jumat. Dan aku membuat sebuah tweet berbunyi “Hai kamu, lagi jumatan ya? Bagus
deh… Semoga kelak kau bisa menjadi imam dalam tiap sholatku…” Dan ketika kau mengetahuinya,
tanpa basa basi kau menjawabnya dengan “Amiin…”
Hari ini pun sebenarnya kau tak semanis biasanya
padaku. Interval tiap pesan antara kau dan aku paling cepat hanyalah 5 menit,
tak seperti dulu dan tak seperti biasanya. Ah, aku hanya berusaha memaklumi dan
memahamimu. Mungkin kau sibuk, tak seperti dulu. Namun, agaknya ini juga salah
satu jurus tarik-ulurmu yang membuat kita tak pernah merasa bosan satu sama
lain…
Sabtu, sebuah harpitnas alias hari kejepit nasional. Jika boleh jujur, aku
sangat malas masuk sekolah hari ini. Namun, pengambilan nilai Seni Musik memaksaku
untuk masuk pagi ini. Dan karena ada pengajian hari ini, aku membawa selembar kerudung
paris cokelat yang akan kukenakan nanti saat pengajian. Pun hari ini, kau membalas
pesanku seperti biasa. Singkat, padat, dan lama. Sedikit membuatku merasa tak
nyaman, namun aku bisa apa?
Usai pengajian yang sedikit membosankan seperti
biasa, kau tak kunjung membalas pesanku. Aku hanya mengikuti Tasya, Firda, dan
Dian ke kelas, agaknya mereka hendak mengerjakan tugas. Pukul dua belas kurang
sedikit, seolah ada sesuatu yang menggerakkan hatiku untuk melangkah pulang dan
melewati geduk induk untuk menyapa beberapa kawanku disana sebentar. Dan aku melihatmu!
Oh Tuhan, apakah kita berjodoh? Bersamaan dengan itu, masuk pula sebaris pesan
darimu yang mengajakku pulang bersama.
Dua sepeda biru memecah siang yang menantang. Dua senyum
terus mengembang sepanjang jalan yang terbentang. Sesungging senyum malu –
malu, dan seulas senyum simpul jahil milikmu. Selalu dan selalu begitu, jalanan
yang kita lewati terlalu cepat berlalu. Tak disangka, kita sudah sampai di tempat
kita biasa bertemu atau berpisah. Aku tersenyum hangat dan melambaikan
tanganku, dan masih kudengar satu kata darimu “Hati – hati…” Harusnya kau yang
hati – hati, Radit-san…
‘Makasih udah
mau bareng..hehe’ Ah lagi – lagi sebaris pesan manis darimu.
‘Kembali kasih,
mas…’
‘Kau cantik
hari ini ;)’
‘Masa sih
mas? Enggak ah :S’
‘Menurutku
iya kok :)’
Raditya-san… Agaknya aku harus berterimakasih
pada-Nya… Karena Ia menganugerahkan kau padaku. Seorang mood booster, musuh yang menyebalkan, sahabat yang mengasyikkan, pengingat
dikala aku salah, seorang kakak, seorang lelaki yang terkadang bertindak bagai
pacar, spiderman dalam hidupku, yang
terkadang bisa menjadi seorang ayah bagiku. Dan itu semua ada dalam satu paket.
Yaitu kau, Raditya…
Oktober 2012