Bolehkah aku bicara?
Tentang sebuah rasa
dan cerita
Tentang sebuah kisah
penuh bahagia
Namun juga penuh
derita
Ceritera ini tentang aku, tentang hidupku… Anak polos yang
tak tahu apa – apa. Anak muda belia yang baru menginjak fase remaja…
Aku memiliki sepotong hati yang belum basi. Belum tercekoki
berbagai lika – liku kehidupan yang lurus atau miring. Aku masih belajar
tentang semua hal… Aku belum pintar!
Baru kududuki bangku putih abu, sudah kusuguhkan potongan
ini pada seseorang. Yang ku yakini akan menjaga sepotong hatiku sebaik mungkin.
Yang ku yakini—dari tatapan matanya—akan menjagaku selamanya…
Aku takut! Di masa yang baru ini, aku takut tangan – tangan
jahil mengusik pahatan hatiku yang masih indah dan murni. Namun, kurasa aku
telah salah alamat lagi…
Selang waktu berlalu… Semua janji tlah menjadi basi.
Hingga sepotong hatiku, berhasil diracuni, dilukai, diiris
dengan belati!
Saat itu, aku hanya bisa menangis meratapi sepotong hatiku
yang telah tercabik. Aku hanya merasakan perihnya luka kecewa yang menganga…
Aku hanya mampu berbicara “Duh Gusti… Apa salahku ini?”
Dan kini… Aku menuai pahitnya racun itu…
Segala yang aku punya hancur berantakan, segala upaya
meningkatkan prestasi akademik yang telah kususun dengan susah payah *poof*
hilang begitu saja…
Entah ini karena dia, atau karena kesalahanku sendiri.
Namun, kurasa ini semua salahku… Seharusnya, aku masih bisa membagi pikiranku!
Aku bodoh! Bodoh karena aku merasa aku pintar. Bodoh karena
aku merasa aku mampu. Bodoh karena aku merasa aku multitalenta. Aku rumangsa bisa, bukan bisaa rumangsa. Seharusnya aku bisa ngrumangsani—menyadari, bukan rumangsa bisa—merasa bisa. Aku menyalahi
falsafah Jawa yang seharinya—seharusnya—kugunakan.
Aku bodoh! Bodoh karena menganggap aku bisa menjalani
semuanya bebarengan. Aku bodoh karena aku egois, tak berani mengalah. Padahal
aku tahu, wani ngalah dhuwur wekasane—orang
yang berani mengalah akan tinggi derajatnya. Lagi – lagi aku menyimpang dari
falsafah Jawa yang selalu disenandungkan Ibuku tiap hari.
Aku bodoh! Karena aeng—berbeda,
yang kulakoni adalah aeng yang waton—berbeda yang asal – asalan. Aku
penakut! Aku tak bisa menangkap peluang baik. Yang kutangkap justru peluang
buruk, yang semakin membuatku merasa rumangsa
bisa dan itu menjatuhkanku sekarang.
Namun…
Dengan segurat catatan kecil ini, aku mampu menengok dalam
diri.
Aku mampu intospeksi, bahwa selama ini aku yang salah…
Aku tak mampu menjadi prototipe wanita somahan yang narima ing pandum namun tetap yang teguh
berprinsip dan ulet dalam mengejar cita.
Aku hanya remaja labil, yang rumangsa bisa dan belum berpengalaman, namun sudah kemaki atau mungkin kemayu sudah membanggakan diri, meskipun belum ada satu hal pun
yang—sebenarnya—belum bisa kubanggakan.
Aku belum bisa mendongak dan menunduk dalam tempo yang
tepat…
Pun dalam cinta. Aku berlagak bisa. Aku menatap nyalang dan
seolah menunjukkan akulah yang paling bisa.
Namun, semua tetap tak bisa berdusta… Gusti Allah memang
Maha Tahu, bahwa ini lah aku—seorang gadis kecil yang labil dan belum
berpengalaman…
Hingga manakala aku terjebak kisah yang indah di awal dan
amat sangat menyakitkan di akhir, Gusti Allah seperti ngelehke—menunjukkan padaku bahwa ini lah aku—remaja yang belum
berpengalaman…
Hingga kini, aku bertekad…
Kelas 11 dan 12, dua tahun terakhirku duduk di bangku putih
abu, takkan kusiakan begitu saja…
Aku akan merebut kembali, apa yang seharusnya menjadi
kebahagiaanku…
Akan kubangun lagi upaya dalam meningkatkan prestasi
akademikku, dengan cara mengingat kata seorang kakak sepupu yang diulang oleh
ibu:
“Nduk, cinta itu
jangan dicari… Ia akan datang sendiri, saat kamu telah mencapai masanya nanti.
Belajarlah dulu, sekolah dulu yang pinter, kuliah dulu yang bener, cari kerja
yang bener, lalu sukseslah. Nanti cinta yang akan menghampirimu… Kalo kamu
pinter, nanti cinta akan datang sendiri. Jangan dicari ya, Nak…”
Dan ketika aku
diperbolehkan bicara…
Inilah yang hendak
kukatakan…
Bahwa betapa tahun
pertamaku di SMA…
Memberikanku sebuah
pelajaran dan pengalaman berharga…
Mengajarkan tentang
kebanggaan, kekecewaan, tawa, dan air mata…
Tentang cinta,
kehidupan, dan perjuangan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar