Jumat, 04 Mei 2012

Sesungging Senyuman Pagi :)

Ayayay.. WELCOME to My New POST :D
Disinii, saya NO MORE GALAU laah :)
Yang sudah biarlah sudah.. sekarang, aku mau posting cerpen niih.. Selamat menikmati ;D


Sesungging Senyuman Pagi
Oleh: Erwita Danu Gondohutami

            Semburat oranye cerah menghiasi hamparan lazuardi. Secercah sinar sang surya menyusup di celah jendela kamarku. Sesosok perempuan berusia 47 tahun muncul di hadapanku. Suaranya menyadarkanku dari buaian alam mimpi. Ia tersenyum, dan kupanggil dia Ibu. Kubalas senyum tulusnya dengan senyumku yang masih bau kasur. Padahal, beliau telah menyiapkan banyak hal untukku dan adikku sejak pukul 03.30 dini hari tadi.
            Aku beranjak dari ranjangku dengan sedikit malas. Baru kusadari, ternyata tinggi Ibuku kurang lebih 5cm lebih pendek dariku. Ibu pun termasuk gemuk, berat badannya sekitar 62kg. Ibu pernah bercerita dan menunjukkan fotonya semasa muda. Dulu, rambut Ibu seperti rambutku sekarang, panjang dan lurus meski tidak hitam. Namun, kini, beliau lebih memilih potongan rambut pendek sebahu. Alasannya tentu agar lebih praktis.
            Bagiku, Ibu termasuk cantik. Apalagi saat beliau menunjukkan foto masa kuliahnya. Kulitnya putih bersih, tidak seperti kulitku yang sawo matang. Justru adik laki-lakiku yang mendapat kulit seperti Ibu, dan jujur itu membuatku sedikit iri. Matanya bulat berwarna cokelat kehitaman, meski bulu matanya tidak selentik milikku. Hidungnya mancung dan bibirnya tampak cantik. Entah menapa, bibir Ibuku bisa berwarna merah jambu, meski tanpa lipstick yang menghiasinya.
            Ibu dianugerahi jari-jari tangan yang lentik, dan itu cukup membuatku iri. Meski begitu, kami juga memiliki kesamaan yang lain. Dan satu hal itu adalah ukuran betis kami yang tidak bisa dikatakan kecil. Saat aku mengeluh tentang betis besarku yang selalu diejek oleh teman-teman, beliau selalu menenangkanku. Bahkan, dengan santainya Ibu berujar, “Bukan anak Ibu, kalau betisnya tidak besar.”
            Terkadang, aku berpikir. Mengapa Ibu masih sempat menyapu di pagi hari? Membuat teh hangat untuk orang serumah? Memasak sarapan yang lezat dan lain-lain? Padahal, Ia harus mengajar di sekolah. Beliau seorang guru tidak tetap yang mengajar Seni Tari di sekolah dasar yang menjadi sekolahku 4 tahun lalu, SD Negeri Minggiran. Ya, Ibuku dahulu adalah seorang penari. Beliau alumnus SMKI dan ISI Yogyakarta, jurusan tari tentunya. Kecintaan beliau pada dunia tari sangat besar. Hingga aku pun dipaksanya mempelajari seni tari.
            “Bu, nanti aku izin tidak latihan dulu ya?”
            “Kenapa?”
            “Capek, Bu… Kan tadi aku sampai sore…”
            “Kalau nanti kamu tidak latihan, kamu tidak boleh menari selamanya…” Ooh… Ciut sudah nyaliku untuk mangkir dari latihan menari.
            Selain gemar menari, Ibuku juga sangat mencintai tanaman. Halaman depan rumahku yang tak terlalu luas ditumbuhi berbagai macam tanaman dari berbagai macam jenis. Tanaman hias, obat, bunga, buah, dan lain-lain, hampir semua ada di halaman rumahku. Anggrek, melati, mawar, kenanga, rambutan, alpukat, leci, matoa, stroberi, sirih, cemara, markisa, kamboja, dan macam-macam lagi yang tidak kuketahui namanya berjejer rapi. Ibuku juga sangat menyukai mawar putih. Menurut Ibu, ada kenangan tersendiri yang mampir di benaknya saat beliau melihat mawar putih tersebut.
            ”Kalau punya uang receh itu ditabung... Jangan asal diletakkan dimana-mana seperti ini.” ujarnya saat melihat kamarku yang sangat berantakan setiap harinya.
            ”Hehe... Iya, Bu...” aku hanya mampu menjawab seperti itu. Dari situ sudah bisa terbaca bahwa Ibu gemar menabung. Beliau mempunyai banyak celengan bambu dan tanah liat di rumah. Ibuku berbeda denganku yang sedikit boros.
            Dari sesungging senyum tulusnya di pagi hari, tak kan ada yang menyangkal jika kukatakan beliau adalah pribadi yang ramah. Terhadap teman, tetangga, sahabat, dan terutama keluarga, Ibu adalah orang yang sangat ramah dan murah hati. Bahkan, terhadap pak tua pemungut sampah pun, Ibu selalu menyapa. Beliau tak segan berbagi jika memiliki sesuatu yang lebih. Ibuku juga seorang pendengar yang baik, beliau pandai membawa diri di berbagai situasi. Oleh karena itu, beliau memiliki banyak sekali relasi dari berbagai kalangan.
            ”Erwan... Kutilangnya jangan lupa dikasih makan...” panggil beliau pada adikku.
            ”Ya, Bu...”
            ”Jangan sampai telat dikasih makan, kasihan lho... Kalau ini burung punya Ibu pasti sudah Ibu lepas ke alam bebas dari kemarin...” ujarnya. Ya, Ibuku sangat tidak tega melihat burung terkurung dalam sangkar, ataupun hewan-hewan yang tersiksa atau tidak terurus. Namun, karena burung kutilang yang kupanggil ”Kekek” itu hanya amanah dari pamanku, terpaksa Ibu hanya bisa mengingatkan adikku untuk merawatnya dengan baik.
            Aku mengigat-ingat lagi beberapa sifat-sifatku. Ternyata ada beberapa kesamaan antara aku dan Ibu. Sifat keras, tegas, tangguh, dan kuat yang kumiliki ternyata menurun dari beliau. Ibu selalu berani saat benar, dan tak segan untuk meminta maaf saat bersalah. Sehingga, tak ada satu pun orang yang berani menginjak harga diri Ibuku. Ibu juga banyak mengalami hal yang berat beberapa tahun ini. Namun, nyatanya Ibu tetap kuat.
            Aku kembali teringat prahara besar yang terjadi di hidupku. Perkara yang sempat membuatku kehilangan sesungging senyum milik Ibuku. Masalah yang membuat Ibuku hanya tersenyum di luar rumah, namun menangis dan marah di dalam rumah. Peristiwa yang mendewasakanku, dan membuatku berpikir ke depan. Entah mengapa, hari ini aku teringat peristiwa itu. Peristiwa 3 tahun lalu, yang sempat membuatku membenci Bapakku...

~...~
            Aku mengenakan seragam putih biruku. Baru 9 bulan aku memakai seragam itu. Namun, keadaan di rumahku masih sama. Bahkan memburuk, kurasa. Bapak tak berubah sejak 6 atau mungkin hampir 7 tahun yang lalu. Beliau masih sama. Tak pernah bekerja dengan jelas, dan selalu meminta. Ibu lah satu-satunya tulang punggung keluarga. Beliau menanggung beban ekonomi sendirian. Ibu pula yang mendidikku, tanpa campur tangan Bapak.
            Dulu, masa balitaku adalah masa paling bahagia. Beberapa kali terlintas dalam memoriku, keluargaku yang harmonis dan bahagia berwisata bersama setiap hari Minggu. Saat itu, kami masih tinggal di Balikpapan, kota kelahiranku, saat Bapak masih menjadi manager area suatu perusahaan telekomunikasi. Namun, semua berubah saat surat pemutusan hubungan kerja itu datang. Kami pulang ke Yogyakarta, kota tempatku tumbuh besar sekarang. Tak kusangka, inilah awal dari semuanya...
            Bapak seorang yang ambisius, egois, tak memiliki perhitungan, dan memiliki gengsi yang sangat besar. Di usianya yang masih muda saat kembali ke Yogyakarta, Bapak tak memanfaatkan waktunya untuk mencari kerja. Entah apa alasannya, beliau memilih kerja sosial. Dan hingga di usianya yang senja, beliau belum mendapat pekerjaan yang mapan. Tak lelah Ibu menyemangati, mendorong, bahakn mencarikan pekerjaan untuk Bapak melalui relasinya yang banyak, namun Bapak tetap tak berubah. Sejak usiaku lebih kurang 6 tahun, Ibuku sendiri yang membanting tulang membiayai kehidupan. Ibuku sendiri yang berusaha keras untuk bisa mencari sesuap nasi.
            Sementara, lihat aku! Aku kian besar, begitu pun adikku. Lulus sekolah dasar, masih ada sekolah menengah pertama dan atas yang menantiku. Namun, Bapak tak kunjung berubah, dan aku kian sedih melihat kondisi Ibuku. Selama ini, aku hanya berusaha menjadi yang terbaik. Aku belajar keras, dan selalu menjadi juara kelas di sekolah dasar. Aku pun berusaha mencari beasiswa di sekolah dasar dulu. Itu semua demi membahagiakan Ibuku.
            Kini, aku dalam masa putih biruku.  Ujian tengah semester gasal, ujian semester gasal, dan ujian tengah semester genapku menunjukkan hasil yang memuaskan. Tuhan menganugerahiku juara kelas dan juara 2 pararel. Suatu kebanggaan tersendiri bagiku, dan suatu kebahagiaan juga untuk Ibu. Sementara ini, hanya prestasiku yang mampu membuat Ibu melukiskan sesungging senyum tulusnya. Selebihnya hanya senyum palsu untuk menutup remuk redam hatinya.
            ”Wita... Erwan... Ibu mau menyampaikan sesuatu.” ujarnya pelan padaku dan adikku. Aku berjalan menuju ruang tamu, menemui kedua orang tuaku.
            ”Ya... Ada apa, Bu?” sahutku.
            ”Kalian sudah besar sekarang... Kalian tahu kan apa yang terjadi pada keluarga kita selama hampir 7 tahun ini?”
            ”Ya, Bu... Kami tahu...” aku mewakili adikku dalam hal ini. Kulihat sinar kesedihan dan kegalauan pada kedua matanya.
            ”Ibu memutuskan akan pisah dengan Bapakmu. Pisah secara resmi tentunya... Ibu sudah tidak tahan lagi, Ibu lelah 7 tahun ini seolah-olah Ibu mempunyai suami padahal selama ini Ibu seperti orangtua tunggal.” katanya memulai semuanya. ”Ibu sudah berunding dengan Bapakmu... Ibu meminta pendapat kalian terlebih dahulu. Pakdhe dan Budhe akan Ibu minta pertimbangannya juga... Namun, Ibu ingin mendengar pendapat anak-anak Ibu terlebih dahulu.” ujar Ibuku. Bapak tampak terdiam, tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Ia bagai patung yang tepajang disana, dan itu sungguh membuatku membencinya.
            ”Aku ikhlas kalau Ibu sudah memutuskan begitu... Aku tahu perasaan Ibu, dan penderitaan Ibu selama ini... Aku ikhlas menerima, dan aku mendukung Ibu seratus persen jika itu membuat Ibu bahagia. Karena, Ibu sudah banyak berkorban untukku, dan saat ini kebahagiaan Ibu lah yang paling utama.” jawabku. Entah mengapa, air mataku menetes, lalu mengalir cukup deras. Hatiku berkata ikhlas, namun entah mengapa aku menangis. Aku tak tahu untuk apa aku menangis. Tetapi, air mata itu jatuh begitu saja, menuruni kedua pipiku.
            ”Terimakasih, Wita, Anakku... Sekarang Erwan... Bagaimana pendapatmu?”
            ”Aku sama seperti Mbak Wita... Aku juga ikhlas, asal itu membuat Ibu lega dan bahagia... Aku mendukung Ibu, apapun keputusan Ibu pada akhirnya.” adikku berbicara singkat, namun air matanya tak kalah deras dariku. Pertemuan hari itu selesai. Aku kembali ke kamar tidurku dengan sejuta perasaan aneh berkecamuk dalam dada.
            Samar kudengar, dalam kamar tidurnya, isakan pelan. Aku tahu Ibu menangis, namun Ibu tak ingin siapa pun mendengarnya. Aku teringat kutipan suatu novel berjudul ”Let Go” karya Windhy Puspitadewi yang kurang lebih berbunyi ’Ketika wanita menangis, bukan berarti dia lemah. Namun, dia sudah tak mampu untuk berusaha kuat.’ Kurasa kutipan itu ada benarnya juga. Karena, aku pun begitu. Sejujurnya, aku lelah berpura-pura menjadi kuat. Aku ingin menjadi wanita yang kuat, namun sisi wanitaku berkata aku harus menangis malam itu.
            Selang beberapa minggu, pengadilan agama mulai berbicara. Kedua orang tuaku mengikuti sidang-sidang di pengadilan agama. Hanya empat kali sidang, dan keputusan telah ditetapkan. Kini, Ibu dan Bapak telah resmi berpisah. Dan hak asuh anak berada di tangan Ibu sepenuhnya. Karena, terbukti Bapak tidak bisa mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Terbukti, selama hampir 7 tahun ini, sebagai kepala keluarga, Bapak tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Dan itu semua, membuatku sangat membencinya. Aku membenci segala hal yang tidak bertanggung jawab di hidupku.
            Namun Ibu adalah wanita yang baik. Ia memarahiku saat Ibu tahu aku membenci Bapak. Ibu selalu menekankan bahwa beliau tetaplah Bapakku, apapun yang terjadi. Lambat laun, aku mulai berhenti membencinya. Meskipun rasa simpatiku telah menghilang sejak lama. Aku hanya tetap menghormatinya dan menghargainya sebagai seorang Bapak, sebagai orang tua. Namun, bukan sebagai figur idola atau panutan bagiku.

~...~
            Masaku telah berbeda. Aku telah melepas masa putih biruku, dan menggantinya dengan masa putih abu-abu. Aku telah melewati masa putih biru dengan kebanggaan tersendiri di hatiku. Setidaknya, aku sudah mengantongi beberapa piala dan piagam yang kupersembahkan untuk Ibu. Prahara memilukan yang terjadi malah menjadi suatu pembelajaran tersendiri bagi kehidupanku. Aku yakin di kehidupanku yang selanjutnya, aku mampu belajar dari masa lalu, dari sejarah kehidupanku. Aku tidak malu dengan keadaanku, justru dengan ini aku menjadi seorang anak yang kaya akan pengalaman.
            Aku hanya bisa tersenyum simpul mengenangnya. Kini, kehidupanku sudah normal seperti biasa. Sebenarnya, hanya aku lah yang terbiasa dengan kehidupanku yang sekarang. Maklum, aku telah menjalaninya selama lebih kurang 3 tahun ini. Aku tahu, aku bukan anak biasa. Aku mengalami hal yang sangat berat selama ini, dan aku pun berbeda dari anak lainnya. Namun, tak pernah sedikitpun aku menyesali hidupku, menyesali perkataan dan pernyataanku beberapa tahun lalu. Meski akibatnya, aku menjadi anak yang istimewa.
            Semua orang beranggapan bahwa anak-anak sepertiku, yang orang tuanya berpisah, akan menjadi anak berandalan yang tak tahu aturan. Namun aku dan adikku akan membuktikan bahwa kami berbeda. Aku akan menjadi bintang yang terus bersinar terang. Aku akan menyaingi sinar bintang yang lain, dan aku akan menjadi yang paling terang. Aku akan terus berusaha menjadi yang terbaik, dengan caraku sendiri. Demi terus melihat sesungging senyuman pagi milik Ibu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar