Kamis, 07 Februari 2013

Touching!



“Setiap kamu punya mimpi atau keinginan atau cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu… jangan menempel. Biarkan… Dia… Menggantung… Mengambang… 5 centimeter… di depan kening kamu… Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu.”

                Bukan… Bukan aku yang ngarang itu semua. Tapi, mas Donny Dhirgantoro dalam novel 5cm-nya. Nggak tahu kenapa kutipan ini bener-bener inspiring banget!! Hari ini nggak bakal banyak ngebacot dulu. Cuma pengen share aja kalau kutipan buku ini bener-bener touching banget!! Semoga bisa semakin memotivasi kita semua! :D Amiin :)

Selasa, 01 Januari 2013

The New Me


            Sepi. Aku sendiri. Rumahku sepi di senja ini, bahkan tak ada masku yang biasanya menjadi penunggu lantai dua. Kebetulan tak ada hujan yang turun membasahi pertiwi. Seperti biasa aku bergegas berlari ke lantai dua, melompati balkon sedikit dan sampailah aku di tempat favoritku tanpa ada yang mengganggu yaitu atap rumah. Aku merenungi lazuardi yang semakin jingga. Sayup terdengar, layung layung jo belek-belek aku belek o jothakanku. Ah, tidak ini hanya bayanganku saja, hanya teringat ucapan singkat pakdheku saat hamparan langit ini menghadirkan senja yang benar-benar jingga. Lagi, aku merenungi diriku. Aku berubah…
                Bukan. Bukan berubah menjadi power ranger pink seperti yang kuharapkan. Aku tak bisa mengeluarkan jurus kameha meha atau tapak budha yang kuinginkan. Aku hanya sadar bahwa aku berubah. Itu saja. Perjalanan waktu mengubahku. Aku mem-flashback kehidupanku selama setahun ini, mumpung sekarang adalah akhir dari 2012 dan aku semakin sadar aku banyak berubah.
                Awal tahun, Januari, Februari, Maret, April. Aku ababil, banget. Aku kayak kimcil. Kayak anak remaja jaman sekarang. Kemana-mana sama pacar, makan di kantin sekolah sama pacar, bangga banget sama pacar, pokoknya apa-apa pacar. Pulang dianter pacar, beberapa kali berangkat dijemput pacar, mau pergi-pergi minta dianter pacar. Ponsel tak berada disampingku? Sama dengan mampus. Tak ada getaran ponsel yang berisi sms dari si dia? Bingungnya sampai setengah gila. Alay ya?
                Sampai pada akhirnya tak ada lagi kata ‘pacar’ dalam hidupku di bulan-bulan selanjutnya. Dekat jauh dekat lagi jauh lagi. Tarik ulur tarik lagi ulur lagi. Dan itu semua terjadi sama ‘mantan’ kata ganti untuk ‘pacar’ yang sudah basi. Aku… Jadi… Semakin… Ababil. Sekian. Banyak yang mendukung, tapi jauh lebih banyak lagi yang tidak menyetujuiku untuk bersamanya lagi. Puncak tarik-ulur-dekat-jauh itu adalah bulan November yang agaknya harus kutahbiskan sebagai bulan kebangkitan, bulan perubahan.
                Aku memutuskan untuk jauh, dan tak dekat-dekat lagi. Tahu kenapa? Lelah. Hanya satu kata ‘lelah’ cukup menjawab segalanya. Aku lelah dengan sikapnya yang selalu tarik-ulur. Aku lelah dengan banyaknya jumlah homo sapiens di sekitarku yang menasehatiku untuk tidak dengannya lagi. Aku lelah dengan segala ketidakpastian, meskipun di dunia ini segalanya memang serba tidak pasti, bahkan dalam pelajaran Kimia pun ada sebuah asas ketidakpastian dari Heisenberg.  Aku lelah.
                Sekarang, akhirnya… Setelah menyandang predikat sebagai ‘gagal move on tahun 2012’ aku hanya tersenyum puas. Tahun 2013 aku pasti berhasil kok! Because, this is the new me. Aku yang baru. Aku yang sudah berhasil mengenyahkan perasaan ini jauh-jauh. Aku yang berhasil melihat dari segi untung-rugi. Aku yang berhasil bangun dari mimpi dan menjalani kehidupan dalam realita. Aku yang sudah jarang main HP, yang jika ponselku tak berada di sampingku aku sudah biasa saja. Aku yang mulai lebih memahami sekitar, yang tak hanya bisa tidur-tiduran sembari smsan. Dan semoga, menjadi aku yang lebih dewasa menyikapi hidup.
                Aku menarik nafas, kuhirup sedalam-dalamnya, dan kuhembuskan perlahan. Inilah aku, aku yang baru. Aku yang berjuta kali lebih baik dari aku yang dulu. Ini aku, dunia. Ini aku! Aku yang semoga semakin dewasa, dan menjadi lebih mapan pemikirannya 6 bulan lagi, saat usiaku 17. Renungan senja yang indah ini pun harus berakhir. Seiring dengan menggelincirnya sang surya, menggelapnya lazuardi, dan deru kendaraan yang datang. Aku melangkah pergi, sembari berteriak dalam hati…  This is the new me, hey twilight!!

Menari dan Menulis Itu…


                Layaknya tiap orang, aku juga memiliki sesuatu hal yang menentramkan jiwaku. Mungkin banyak orang memilih kegiatan ini dan itu, mungkin ada yang suka bersepeda, mendengarkan lagu, menggambar, menyepi di suatu tempat, dan sejuta aktifitas lainnya. Mungkin sedikit berbeda dengan orang-orang lain, aku memilih menari dan menulis. Ke-na-pa?
                Sepanjang catatan sejarah kehidupanku, aku mengenal tarian, aku belajar menari, semua sejak usiaku lebih kurang 5 tahun. Ibuku yang dulunya adalah penari ‘memaksaku’ belajar menari. Sejujurnya, dulu ketika masa putih-merah, aku tidak suka menari. Ibuku yang terus memaksaku dengan berbagai ultimatum. Pernah suatu ketika aku malas, dan Ibuku langsung mengancam “Kalau sekarang kamu nggak berangkat nari, kamu nggak boleh nari seumur hidup.” Nyaliku langsung ciut, dan aku langsung keluar rumah untuk latihan. Ya, aku berlatih di rumahku sendiri, karena di rumahku didirikan sebuah sanggar tari.
                Lambat laun aku mulai mencintainya. Aku menjadikan ability menariku ini sebagai suatu ciri khas di diriku, suatu kebanggaan bagi diriku. Sebuah ciri khas yang membuatku berbeda dari anak-anak lainnya. Itu adalah anggapanku ketika awal aku memasuki masa putih-biru. Aku masih rutin latihan menari di sanggarku, Sanggar Tari Wiraga Apuletan. Aku menempa diriku lebih jauh lagi, meski aku masih belum berhasil meraih juara tari selama itu. Aku terus menekuninya, kadang sedikit berjumawa karena jarang anak seusiaku yang bisa menari. Bangga rasanya mendengar temanku berkata, “Wita kamu penari ya? Wah, hebat banget… Jarang lho ada anak muda sekarang yang bisa nari Jawa gitu.”
                Kini, di masa putih-abu, aku menyadari satu hal yang jauh lebih dalam daripada sekedar itu. Menari adalah jiwaku. Akhirnya, aku menyadari bahwa dengan menari itu semua akan meluruhkan ketidaknyamanan di hatiku. Aku belajar menari memang tidak untuk sebagai profesi, namun ini semua murni demi kenyamanan batin. Ketika menari, aku harus bisa menyatukan rasaku. Ketika aku menarikan tarian yang bernuansa senang, meskipun hatiku sedang terluka, aku jadi bisa tersenyum manis karena aku harus menjiwai tarian tersebut.
                Biasanya, senyum itu akan terbawa dalam kehidupan sehari-hariku. Dan kelihaian menutupi perasaan juga ikut terbawa dalam kehidupanku. Ketika aku menari, sisi lainku akan keluar. Sisi feminimku yang sehari-hari sering tertutupi tingkahku yang sedikit tomboy. Dengan menari, aku berhasil memusatkan segala konsentrasi dalam satu hal. Aku tak heran mendengar celoteh temanku yang bicara begini, “Aneh ya Wit kamu… Kalau di kehidupan biasa kayaknya orangnya cuek, tomboy, ya cowok banget. Tapi, begitu menari, kamu kelihatan anggun banget, cewek banget lah intinya!”
                Semua gerakan yang dibentuk oleh anggota tubuhku rasanya memberikan suatu kelegaan tersendiri. Bahkan kini , ketika mendengar musik hip hop pun aku bisa bergerak sesuai apa yang ada di pikiranku, tak peduli jelek atau bagus. Yang penting aku bergerak, aku menari. Titik. Menari tradisional dan modern, sama-sama membahagiakan. Hanya saja, ketika aku ingin merasakan kebebasan, aku akan memilih memutar lagu hip hop dan dance. Namun, ketika aku ingin merasakan keanggunan, ketika aku ingin merasakan bagaimana pesona dan kewibawaan seorang ‘putri’ aku akan lebih memilih memutar gending-gending Jawa.
                Menulis. Satu kata sederhana ini juga memberikan kelegaan yang sama maksimalnya dengan menari. Aku mulai suka menulis sejak aku duduk di bangku putih-merah. Aku masih ingat puisi pertamaku yang berhasil dimuat di sebuah surat kabar harian Kompas, puisi tentang jasa guru. Ketika sekarang ini aku membaca ulang, jujur aku ingin tertawa. Betapa ‘hancur’ hasil karyaku itu. Namun, itu lah tonggak kepercayadirianku untuk menulis.
                Setelah itu aku terus menulis dan menulis. Masa SMP mungkin adalah masa yang lumayan gelap bagi karir kepenulisanku di bidang sastra. Belum pernah satu puisi atau cerpenku dimuat di media massa. Namun, aku berhasil mendapat juara 3 dalam lomba menulis esai berbahasa Jawa. Dan prestasi itu yang menyumbangkan nilai 0,5 dalam NEM-ku.
                Mungkin masa putih-abu adalah masa paling ‘menyala’ dalam hal tulis menulis. Aku mengikuti jurnalistik, sebuah dunia yang sama sekali baru bagiku. Aku mulai menulis sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan fiksi atau khayalanku semata. Aku juga mulai mengenal apa itu web log, atau blog. Disana aku membiarkan tulisanku berkejaran, berlarian, dan liar. Aku menulis apa saja yang aku mau. Mulai dari berbagi pengalaman, pengetahuan, sampai ehm curhat. Beberapa karya seperti puisi dan cerpen pun ku posting di blog. Sejujurnya aku ingin mendapatkan penilaian orang lain terhadap hasil karyaku.
                Akhir tahun 2012 ini, aku berkesempatan menjadi seorang reporter yang mengisi kolom remaja, Kaca di surat kabar harian lokal terbesar, Kedaulatan Rakyat. Disini aku belajar bagaimana menulis, bagaimana menjadi tepat waktu, dan sejuta pengalaman berharga lainnya. Aku benar-benar menyalurkan kegiatan menulisku sebagai hal yang positif. Sehingga, aku mulai menghargai waktu, dan tak terlalu banyak ber-galau-ria lagi sebagaimana remaja masa kini yang mengikuti arus ‘galau’.
                Menulis benar-benar memberikan kelegaan yang indah, kelegaan yang serupa tapi tak sama dengan menari. Dalam menari, semua lukaku terobati. Namun, dengan menulis, semua pesanku tersampaikan. Seperti saat ini. Ketika hatiku penuh sesak dengan sejuta alasan kenapa aku cinta menari dan menulis, lagi-lagi menulis datang sebagai ‘superman’ yang bersedia kujadikan alat untuk mengurangi kesesakan di hatiku.
                Jadi, ini adalah dua hal yang membahagiakanku, menenangkan hatiku, membuatku nyaman. Aku belajar menari untuk mencari kesenangan, aku menulis untuk mencari kelegaan. So, tolong, siapapun kamu… Jangan halangi aku, jangan mengacaukan suasana hatiku dengan mengacaukan image menari dan menulis yang sudah terpatri di hatiku. Aku hanya tetap ingin menari dengan bebas, latihan dengan nyaman, tanpa perlu mendengar suara sok mengatur. Aku tetap ingin menulis dengan bebas, tanpa ada orang yang merasa tersindir, dan balas menyindirku dengan tulisan.
Kalau aku ingin melakukan ini dan itu… Ya… Suka-suka aku kan? Ibuku aja nggak ngelarang :)

#ditulis ketika penulis sedang sedikit mangkel dengan seseorang, dan butuh teman curhat seperti halnya ‘tulisan’, agar penulis lega dan untuk memperingatkan siapa saja yang berusaha menghalangi niat suci penulis dalam menari dan menulis #tsaah #sokbanget *end*