Hai! Kamu yang disana. Apa kabarmu?
Semoga semangat sang surya masih menular padamu. Dan kuharap aku pun begitu.
Kau tahu? Sapaanmu tadi pagi amat sangat menghangatkan hatiku, membuat rona merah
kembali bersemi di wajahku yang kaku. “Pagi dek”. Kau tahu? Menyenangkan sekali
rasanya. Benar – benar seperti aku menemukan kau yang dulu.
Hari ini, aku hanya tersenyum dan tersenyum.
Aku teringat saat kita bertukar pesan tadi malam. Rasanya benar – benar seperti
dulu. Ah, andai saja waktu itu kau tak begitu… Tapi, buat apa aku menyesali
nasi yang terlanjur ajur menjadi bubur? Tak ada gunanya menyesali segalanya.
Pasti ada hikmah dibalik semuanya, dan aku sangat yakin akan hal itu!
Mas Ilusi. Begitu biasanya kawanku memanggilmu.
Haha, lucu sekali. Dulu aku sempat berusaha menganggapmu ILUSI di hidupku, agar
aku tak lagi mengingatmu. Namun, agaknya aku tak mampu. Kau terlalu dalam menghunjam
disini. Jadi, agaknya kau tak pantas kujadikan ilusi ya?
Oh iya! Aku ingin bercerita sesuatu
padamu. Aku senang menjalani hidupku saat ini. Aku sekarang sudah memiliki adik
kelas, dan itu berarti aku sudah semakin besar ya? Sejujurnya, dengan nilaiku
yang ‘sedikit’ memprihatinkan di semester kemarin, aku sadar untuk mengurangi kegiatanku
di sekolah. Namun, agaknya, aku justru semakin sibuk ya? Kau melihatku lari kesana
kemari, kan?
Aku tonti lagi, dan mau ikut debat
bahasa Inggris. Dan lagi, aku masih mengurusi beberapa hal. Eh, tapi aku sudah
tidak ikut kepanitiaan macam – macam lagi lho. Apa itu bisa jadi salah satu
upayaku mengurangi kegiatan? Hehe. Ah, aku malah jadi curhat denganmu. Haha.
Salah kah jikalau aku masih membalas
pesanmu? Tidak, kan? Toh, kita berteman kan sekarang? Hehe. Kalau suatu saat
aku mengingat masa – masa itu, salah kah? Hm… Semoga tidak ya? Hehe. Ah, aku
kian melantur rupanya!
Aku hanya menikmati hidupku sekarang
ini. Denganmu di sampingku sebagai temanku. Jujur, aku takut memberi harapan kepada
lelaki lain, jadi kuputuskan untuk tidak memilih siapa pun. Semoga keputusanku
benar ya? Jujur, aku takut akan menjadi seorang pemberi harapan palsu. Semoga
aku tidak melakukannya…
Dan ditemani kerlip bintang yang menaungi
hatiku, aku masih ingin terus berbincang denganmu. Sampai nanti, sampai aku terlelap
di alam mimpi. Sampai nanti, sampai kau merapatkan jaketmu erat – erat. Ah,
bicara masalah jaket, aku jadi teringat gerimis yang manis itu. Betapa aroma
jaketmu masih tersisa disini. Ah, masa lalu yang indah ya?
Aku mengerling manis pada kalender
tak jauh dari dekatku. Sebelas adalah tanggal sekarang ini. Besok dua belas.
Kau ingat? Di tanggal dua belas? Di waktu beberapa bulan yang lalu, apa yang terjadi?
Yah, satu hal yang menjadi kenangan pahit bagiku. Dan selama itu, kau bisa tertawa
– tawa dengannya, tapi aku tidak. Hehe. Dunia tidak adil ya? Memang dunia tak pernah
adil, apalagi padaku. Namun, itu masa lalu kok. Untuk apa kuungkit kembali?
Betapa pun mereka berkata kau hanya
ilusi. Betapa pun mereka memaksaku menganggapmu ilusi, mimpi di siang hari.
Namun, aku tak bisa munafik lagi. Bagiku kau bukan ilusi. Dan jika di masa lalu
kau gagal menjadi yang terbaik bagiku. Adakah kesempatan kedua bagimu? Mungkin
kah suatu saat nanti, entah kapan waktunya, kau menjadi masa depanku? Entah.
Hanya Tuhan yang tahu…
Kini,
aku hanya bisa menikmati hidupku…
Dan
aku memang HARUS menikmati hidupku…
Dengan,
atau tanpamu…
Yogyakarta,
11 September 2012
19:20
WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar