Hai! Bagaimana kabarmu kali ini?
Kuharap Tuhan masih menyelubungimu dari kelelahan. Kau tahu? Teman – temanku memanggilmu
Mas Ilusi, lho… Kata mereka, aku harus menganggapmu ilusi. Tahu kenapa? Agar
aku melupakanmu, mas. Agar aku bisa benar – benar mengubur perasaan ini dalam –
dalam. Dan dulu, aku juga mengikuti teman – temanku, memanggilmu mas Ilusi.
Namun… Lambat laun, aku menyadari
kau nyata. Kau bukan ilusi semata. Kau benar – benar nyata, dan pernah menjadi
bagian hidupku. Kisah yang dulu itu nyata. Bukan hanya mimpiku. Semuanya memang
pernah ada, pernah terjadi. Pantas, aku tak pernah nyaman ketika memaksakan
diri memanggilmu mas Ilusi.
Entah mengapa mataku panas sekali
saat ini. Seperti akan ada air mata yang jatuh. Tapi, aku tidak akan menangis
kok. Sungguh… Dan jujur ya aku lebih nyaman memanggilmu mas Radit seperti ini.
Nama yang sering kugunakan dalam berbagai kesempatan.
Kau pasti masih ingat kan cerita
yang kubuat dulu? Radit dan Dita… Haha. Cerita yang masih kusimpan di memori
otak, maupun PC. Bagiku, apapun yang terjadi, kau tetap mas Radit. Tetap mas
Raditku yang dicerita itu, apa pun statusku dan statusmu kini… Aku tetap ingin
menghidupkannya di kepalaku…
Kalau Mamet *maaf Met aku menuliskan
namamu disini* punya Ardito… Aku hanya punya mas Radit, sebagai satu dari sekian
kisahku, sebagai satu kisah yang amat sulit ku lupa, karena terlalu dalam menghunjam
disini. Kau tahu? Bahkan aku rasa – rasanya ingin kembali pada kisah itu. Tapi,
luka ini yang menolak kembali.
Dan… Satu hal lagi sebelum aku mengakhiri
monolog ini *karena mungkin kau tak kan pernah mau membalas kata – kataku ini,
hingga ini semua tak kan menjadi sebuah dialog* Selamat tanggal dua belas, mas
Radit. Selamat peringatan hari kebebasanmu dariku :’ Entah kapan waktunya, entah
dimana tempatnya… Apa pun yang terjadi kau masih punya kesempatan menjadi masa
depanku…
Yogyakarta,
12 September 2012
16:
12 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar