Hi guys! ;)
How do you
do?
Here, I want to retell you about some stories
in “The Tales of Beedle The Bard” *halah sok inggris._.*
Okay! Jadi, ceritanya 26 Juni 2012
lalu, sahabatku si Anastasha Fitriyana baru beli buku ini nih “The Tales of Beedle
The Bard” alias “Kisah – Kisah Beedle si Juru Cerita” (Terjemahan dari Hermione
Granger dari bahasa Rune kuno) oleh JK Rowling—penulis dari novel Harry Potter
Series yang paling fenomenal abad ini—yang sangat aku idolakan…
Apa sih istimewanya atau cerita istimewa
di buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini??
Novel ini ada tambahan catatan khusus
dari Prof. Albus Dumbledore loh ;) hehe…
Mau tahu beberapa cerita yang paling
aku suka dari 5 kisah di buku ini? Let’s check this out!
Air Mancur Mujur Melimpah
Jauh di atas bukit, dalam sebuah taman
ajaib yang dikelilingi dinding – dinding tinggi serta dilindungi sihir yang
kuat, berdirilah Air Mancur Mujur Melimpah.
Sekali setahun, pada jam – jam di antara
terbit dan tenggelamnya matahari di hari terpanjang dalam tahun itu, satu orang
yang tak mujur mendapat kesempatan untuk berjuang mencari jalan ke Air Mancur,
membasuh diri di sana, dan mendapatkan kemujuran yang melimpah untuk selama –
lamanya.
Pada hari yang telah ditentukan, ratusan
orang datang dari seluruh penjuru kerajaan agar mereka dapat sampai di dinding
– dinding taman sebelum fajar tiba. Laki – laki dan perempuan, kaya dan miskin,
tua dan muda, memiliki kekuatan sihir maupun tidak, mereka semua berkumpul di
tengah gelapnya malam, masing – masing berharap dirinyalah yang akan berhasil
memasuki taman ajaib.
Tiga penyihir perempuan, dengan masalahnya
masing – masing, bertemu di antara kerumunan orang banyak itu. Sambil menunggu
terbitnya matahari pagi, mereka menceritakan kesedihan masing – masing kepada
yang lainnya.
Penyihir pertama, bernama Asha, menderita
sakit yang tak bisa disembuhkan tabib mana pun. Dia berharap Air Mancur akan
menghilangkan semua sakit-penyakitnya dan memberikan umur panjang serta kebahagiaan.
Penyihir kedua, bernama Altheda, bercerita
bahwa rumah, emas, dan tongkat sihirnya telah dicuri penyihir jahat. Dia
berharap Air Mancur akan mengembalikan kekuatan serta kekayaannya.
Penyihir ketiga, bernama Amata, telah
ditinggalkan oleh pria yang sangat dicintainya hingga Amata berpikir hatinya
takkan pernah sembuh lagi. Dia berharap Air Mancur akan membebaskannya dari
duka dan rasa rindu.
Karena saling mengasihani, ketiga perempuan
itu setuju bahwa jika mendapat kesempatan, mereka akan bersatu dan berusaha
mencapai Air Mancur bersama – sama.
Langit mulai disinari cahaya pertama
matahari terbit, dan ada celah kecil di dinding yang terbuka. Kerumunan orang
itu mendesak maju, setiap orang berseru bahwa merekalah yang berhak atas
keajaiban Air Mancur. Sulur – sulur tanaman merambat dari taman ajaib menjulur
di antara kerumunan orang, dan melingkar mengikat penyihir pertama, Asha. Asha
menggapai pergelangan tangan penyihir kedua, Altheda, yang mencengkeram ujung
jubah penyihir ketiga, Amata.
Dan Amata tersangkut pada baju besi seorang
kesatria kumal yang duduk di atas kuda kurus kering.
Tanaman merambat itu menarik ketiga
penyihir masuk ke celah kecil di dinding, dan sang kesatria tertarik dari
kudanya, di belakang ketiga penyihir.
Seruan – seruan marah dari kerumunan orang
yang kecewa memenuhi udara pagi, lalu kerumunan itu terdiam ketika dinding –
dinding taman tertutup kembali.
Asha dan Altheda marah kepada Amata yang
tak sengaja menarik sang kesatria masuk ke taman bersama mereka.
“Hanya satu orang yang dapat membasuh diri
di Air Mancur! Sudah cukup sulit menentukan siapa diantara kita yang berhak
melakukannya, dan sekarang ada tambahan seorang lagi!”
Sir Luckless, begitulah nama yang diberikan
orang – orang di negeri di luar taman ajaib kepada sang kesatria, memperhatikan
bahwa ketiga perempuan yang bersamanya adalah penyihir. Dan karena dia tidak
memiliki kekuatan sihir, keterampilan hebat dalam berduel dengan tongkat besar
sambil berkuda, berduel dengan pedang, maupun keterampilan lain yang berharga,
Sir Luckless yakin dia tak mungkin mengalahkan ketiga perempuan itu mencari
jalan menuju Air Mancur. Sebab itulah Sir Luckless menyatakan keinginannya
untuk mundur dan keluar dari dinding – dinding yang mengelilingi taman itu.
Mendengar ini, Amata juga menjadi marah.
“Pengecut!” katanya mencemooh sang
kesatria. “Tariklah pedangmu, Kesatria, dan bantu kami mencapai tujuan!”
Demikianlah ketiga penyihir dan kesatria
menyedihkan itu masuk lebih jauh ke taman ajaib. Tanaman – tanaman obat langka
dan berbagai jenis buah serta bunga tumbuh melimpah mengapit jalan setapak yang
diterangi cahaya matahari. Tak satu pun rintangan mereka temui sampai mereka
mencapai kaki bukit tempat Air Mancur berdiri.
Di sana, seekor cacing putih raksasa
melingkar di dasar bukit, matanya buta dan tubuhnya membengkak. Ketika mereka
semakin mendekat, cacing itu berbalik dan memperlihatkan wajahnya yang jelek,
lalu mengucapkan serangkaian kata:
“Persembahkan
kepadaku bukti saktimu.”
Sir Luckless menghunus pedang dan mencoba
membunuh binatang itu, tapi pedangnya justru patah. Lalu Altheda melempari
cacing itu dengan batu, sedangkan Asha dan Amata mendaraskan setiap mantra yang
mungkin dapat menghilangkan si cacing atau membantu mereka melewatinya, tetapi
kekuatan tongkat sihir mereka sama tak bergunanya dengan batu yang dilemparkan
Altheda ataupun pedang besi sang kesatria: Cacing itu tetap tak membiarkan
mereka lewat.
Matahari bergerak semakin tinggi di langit,
dan Asha yang putus asa mulai menangis.
Kemudian cacing besar itu mendekatkan
wajahnya dan meminum air mata yang mengalir di pipi Asha. Setelah hausnya
terpuaskan, cacing itu menggeliat ke samping dan menghilang ke dalam lubang
yang terbuka di tanah.
Gembira karena cacing itu menghilang,
ketiga penyihir perempuan dan sang kesatria mulai mendaki bukit. Mereka yakin
dapat tiba di Air Mancur sebelum sore menjelang.
Akan tetapi, di tengah perjalanan menaiki lereng terjal, mereka
melihat kata – kata yang terukir di tanah di hadapan mereka:
“Persembahkan
kepadaku buah usahamu.”
Sir Luckless mengambil satu – satunya koin
yang ia miliki, lalu menaruhnya di sisi bukit berumput itu, tetapi koinnya
menggelinding ke bawah dan hilang. Ketiga penyihir dan sang kesatria terus
mendaki, namun tak selangkah pun mereka maju, meskipun mereka sudah berjalan
selama berjam – jam. Puncak bukit tak juga semakin dekat, dan ukiran kata –
kata itu tetap ada di hadapan mereka.
Keempat orang itu menjadi putus asa ketika
matahari terlihat menurun dan mulai bergerak tenggelam di horizon, tetapi
Altheda terus berjalan, lebih cepat dan berusaha lebih keras daripada yang
lainnya, memaksa yang lain mengikuti contoh yang dia berikan, meskipun dia tak
bergerak lebih dekat ke puncak bukit ajaib.
“Jadilah pemberani, teman – teman, dan
jangan menyerah!” seru Altheda sambil menyeka keringat dari keningnya.
Seiring dengan jatuhnya butir – butir
keringat Altheda ke tanah, ukiran kata – kata yang menahan laju mereka perlahan
– lahan menghilang, dan kini mereka bisa bergerak semakin dekat ke puncak
bukit.
Bahagia karena rintangan kedua ini berhasil
disingkirkan, mereka berjalan secepat mungkin menuju puncak bukit, sampai
akhirnya mereka dapat melihat Air Mancur, gemerlapan bagaikan kristal di bawah
naungan pepohonan dan bunga – bungaan.
Tetapi sebelum bisa mencapai Air Mancur,
mereka dihadapkan pada anak sungai yang mengelilingi puncak bukit, menghalangi
jalan mereka. Di kedalaman air yang bening, terdapat sebuah batu halus yang di
permukaannya tertulis:
“Persembahkan
kepadaku harta masa lalumu”
Sir Luckless mencoba menyeberangi anak
sungai dengan perisainya, tapi perisai itu tenggelam. Ketiga penyihir
menariknya dari air, lalu mencoba melompati anak sungai itu. Namun mereka tidak
dapat menyeberanginya, sementara di langit matahari mulai tenggelam semakin jauh.
Maka mereka semua memikirkan apakah arti
pesan pada batu itu, dan Amata yang pertama kali memahami isi pesan tersebut.
Dengan tongkat sihirnya, Amata menarik semua ingatan tentang saat – saat
bahagia bersama kekasihnya yang hilang dari benak, lalu menjatuhkan semua
ingatan itu ke dalam air yang mengalir deras. Anak sungai menghanyutkan ingatan
Amata, dan tiba – tiba muncul batu – batu pijakan di sepanjang anak sungai, dan
akhirnya ketiga penyihir serta sang kesatria bisa melewati anak sungai, menuju
puncak bukit.
Air Mancur Mujur Melimpah berkilau di
hadapan mereka, berdiri di antara tanaman obat serta bunga – bungaan, semuanya
lebih langka dan lebih indah daripada yang pernah mereka lihat sebelumnya.
Warna langit berubah merah bagaikan permata rubi, dan tibalah waktunya bagi
mereka untuk menentukan siapa yang akan membasuh diri di Air Mancur.
Tetapi, sebelum mereka membuat keputusan,
Asha yang lemah terjatuh ke tanah. Kelelahan akibat perjalanan dan perjuangan
mereka menuju puncak bukit, dia hampir mati.
Ketiga temannya ingin menggendong Asha ke Air Mancur, tetapi Asha
begitu sedih dan menderita segingga dia memohon agar mereka tidak menyentuhnya
sama sekali.
Maka Altheda cepat – cepat mengumpulkan berbagai tanaman obat yang
menurutnya akan membantu Asha, mencampurnya dengan air di botol minuman Sir
Luckless, dan menuangkan ramuan itu ke mulut Asha.
Seketika itu, Asha mampu berdiri lagi. Dan yang lebih mengejutkan
lagi, seluruh gejala penyakit parahnya hilang tak berbekas.
“Aku sembuh!” seru Asha. “Aku tak perlu membasuh diri di Air
Mancur—biar Altheda yang membasuh diri!”
Tapi, Altheda sedang sibuk mengumpulkan lebih banyak lagi tanaman
obat.
“Jika aku bisa menyembuhkan penyakit ini, aku pasti bisa memperoleh
emas berlimpah! Biar Amata saja yang membasuh diri!”
Sir Luckless membungkuk, mempersilakan Amata berjalan menuju Air
Mancur, tapi Amata malah menggeleng. Anak sungai tadi telah menghanyutkan
seluruh penyesalan Amata atas kekasihnya, dan dia menyadari bahwa selama ini
kekasihnya memang jahat dan tak setia, terbebas dari laki – laki itu saja sudah
merupakan kebahagiaan besar baginya.
“Kesatria yang baik, Andalah yang harus membasuh diri di Air Mancur,
sebagai balasan atas semua tindakan kesatria Anda!” kata Amata pada Sir
Luckless.
Maka sang kesatria berjalan maju ke arah Air Mancur Mujur Melimpah,
dengan baju besi lengkap, di tengah cahaya terakhir matahari yang hampir
tenggelam sepenuhnya, dan membasuh diri di air mancur itu. Sir Luckless betul –
betul tak menyangka dirinya yang terpilih dari ratusan orang yang menunggu –
nunggu kesempatan ini, hingga dia gemetar gembira karena kemujurannya.
Ketika matahari turun di kaki langit, Sir Luckless melangkah keluar
dari bawah Air Mancur dengan penuh kemenangan dan kemuliaan. Dalam baju besinya
yang karatan, Sir Luckless berlutut di hadapan Amata, perempuan paling baik
hati dan cantik yang pernah dilihatnya. Dengan gembira dan bangga karena
keberhasilannya, sang kesatria memohon agar Amata sudi membuka hati untuknya
dan menikah dengannya, dan Amata, yang tak kalah gembiranya, menyadari bahwa
dia telah menemukan laki – laki yang pantas mendapatkan cintanya.
Akhirnya, ketiga penyihir dan sang kesatria bersama – sama menuruni
bukit, bergandengan tangan, dan sejak saat itu keempatnya memperoleh umur
panjang dan hidup bahagia. Dan tak seorang pun pernah curiga bahwa sebenarnya
Air Mancur Mujur Melimpah sama sekali tidak memiliki keajaiban.
Tamat
Catatan Albus Dumbledore tentang “Air
Mancur Mujur Melimpah”
Hmm… Diomongin gak yaa enaknya?? Enggak
usah aja kalik yaah ;)
Jadi buat temen – temen yang penasaran
dengan catatan Prof. Dumbledore tentang kisah ini bisa langsung pergi ke Gramedia
atau toko buku terdekat, lalu cari buku “Kisah Beedle Si Juru Cerita” ini, ke
kasir, bayar, dan langsung baca deeh :D Atau bisa juga cari temanmu yang punya
buku ini, terus pinjam deh :D *kayak aku misalnya :3* hehe Beres kaan? :P
Oh iya, aku pengen ikutan Pak Dumbledore
ah… Aku mau ngasih catatan tentang kisah ini :)
Catatan Erwita Danu Gondohutami tentang
“Air Mancur Mujur Melimpah”
Pertama membaca kisah sederhana ini,
aku langsung tertarik. Kenapa? Karena meskipun sederhana, imajinasiku tetap
bisa bermain dengan bebas dan luas. Bagiku cerita ini adalah fairy tale yang
indah dengan akhir yang lembut. Pesan moralnya ada banyak, dan sebagian dapat dengan
mudah ditangkap.
Penggambaran latarnya tepat. Nggak lebay,
tapi tetap bisa dibayangkan betapa indahnya kehidupan disana. Jalan ceritanya jelas,
dan yang tak kalah pentingnya, penuh fantasi khas JK Rowling. Kisah yang sarat
pesan moral untuk terus bekerja keras, pantang mundur, dan saling membantu.
Bisa kita bayangkan apa jadinya Asha, Altheda, Amata, dan Sir Luckless kalau mereka
tidak mau bahu membahu.
Aku cukup tersentuh di bagian akhir.
Saat Amata mau merelakan ingatan / kenangan manisnya dengan (mantan) kekasihnya
untuk dipersembahkan ke anak sungai *andai saja aku bisa melakukannya, pasti
aku udah berhasil move on juga #curhatanpenulis* dan akhirnya mereka bisa
sampai di tujuan. Saat ketiga temannya mau menggendong Asha, tapi Asha-nya
nggak mau. Itu mengharukan sekali :”) Kalau aku jadi Asha, mungkin aku bakalan
mau digendong mereka dan mendapat kesempatan membasuh diri di Air Mancur Mujur
Melimpah itu…
Dan aku seneng banget di endingnya,
Amata bisa move on! Dia menyadari lelaki seperti apa mantan kekasihnya *ahh
andai aku bisa seperti Amata, andai aku punya tongkat sihir yang bisa kupakai
untuk mengambil ingatan itu… #curhatlagi #galaulagi-__-* dan sudah tidak menyesal
karena terlepas dari lelaki itu… Amata juga mau membuka hati untuk Sir Luckless
yang tidak istimewa… Huaaaa… Amata itu baik banget yaa? :”) hehe
Yeaaaahh!
I think that’s all for this posting…
Oh iya! *wush pake bold segala._. eh tapi penting sih*
Aku kan tadi bilangnya “some”, jadi harusnya ada beberapa…
Nah,
berhubung ini udah puanjaaaang banget nyampe Belanda, maka dari itu, ini baru
part 1-nya…
So
be patient yaah ;)
See
you on the second part!! :D
#salam
cinta JK Rowling :3 :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar